Connect with us

NASIONAL

AJI Catat 53 Kasus Kekerasan Jurnalis di 2019, Didominasi Polisi

Diterbitkan

pada

AJI merilis sejumlah aksi kekersan yang masih terjadi pada jurnalis di tahun 2019 Foto: net

JAKARTA, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyebut selama 2019 terjadi 53 kasus kekerasan yang dialami wartawan. Polisi merupakan aktor yang sering melakukan tindakan kekerasan kepada jurnalis, berdasarkan catatan AJI.

Karena itu, AJI menobatkan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sebagai musuh kebebasan pers pada tahun 2019. Capaian gelar “musuh kebebasan pers” juga didapat Polri pada tahun sebelumnya. “Jadi melihat banyaknya kasus kekerasan oleh polisi pada 2019 ini, kami merasa bahwa kalau ada yang boleh disebut musuh kebebasan pers di tahun 2019 itu adalah polisi,” kata Ketua Umum AJI Abdul Manan, di Duren Tiga, Jakarta Selatan, Senin (23/12).

 Angka ini, berdasarkan catatan AJI memang menurun jika dibanding tahun sebelumnya yang terjadi 64 kasus kekerasan sepanjang tahun 2018. Sementara dari seluruh kasus 2019, kekerasan fisik masih mendominasi dengan 20 kasus, disusul oleh perusakan alat kerja atau data hasil liputan dengan 14 kasus.

Ada pula ancaman kekerasan atau teror dengan 6 kasus, kriminalisasi dengan 5 kasus, pengusiran atau pelarangan liputan dengan 4 kasus, dan sensor atau pelarangan pemberitaan dengan 3 kasus. “Tahun ini penyumbang kekerasan terbanyak itu di dua peristiwa. Itu di bulan Mei, 2 demo di Bawaslu dan selama demo mahasiswa di September, baik di Jakarta maupun di beberapa daerah,” kata Manan.

Dari seluruh kasus tersebut, kata Manan, polisi menjadi yang paling sering menjadi pelaku kekerasan terhadap wartawan dengan 30 kasus. Terpaut jauh dibanding warga yang menempati posisi kedua dengan 7 kasus dan ormas dengan 6 kasus.

Manan melanjutkan, kekerasan oleh polisi terhadap wartawan paling banyak terjadi kala demonstrasi Mei dan September. Saat itu, wartawan merekam aksi kekerasan polisi terhadap demonstran, tapi justru wartawan turut menjadi korban.

Salah satunya dialami jurnalis CNN Indonesia Budi Hariyanto Tanjung pada saat meliput aksi 22 Mei 2019 di sekitar kantor Bawaslu. Saat itu, ia merekam anggota Brimob yang menggiring paksa para demonstran ke mobil polisi, dalam aksi tersebut polisi juga melakukan kekerasan terhadap demonstran. Sekitar 5 menit berselang, anggota Brimob mendatanginya dan memaksanya menghapus rekaman tersebut.

Budi sudah menyatakan kalau dirinya wartawan dan menunjukan kartu identitasnya, alih-alih mundur Budi malah dihadiahi pukulan di bagian belakang kepala dan telinga disertai kalimat intimidatif. Anggota Brimob juga merampas gawainya dan menghapus seluruh rekaman. “Artinya polisi secara sengaja berusaha membungkam wartawan krn wartawan merekam kejahatan yg dilakukannya,” kata Manan.

Mirisnya, dari sekian banyak kasus kekerasan oleh kepolisian, hanya satu kasus yang tuntas, yakni kekerasan jurnalis di Makassar. Namun kasus itu ditangani lewat mekanisme pengadilan etik, bukan pidana. Di sisi lain, berbagai kasus lainnya tidak jelas nasibnya. “Kalau ini dibiarkan ini akan jadi pola yang terus berulang,” kata Manan.(rls)

 

Editor : Cell

 

 


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->