Connect with us

MISBACH TAMRIN 1965

Amrus Natalsya, Kisah Persahabatan Setengah Abad (1)


Misbach Tamrin: Dalam Bayang Seni Rupa Indonesia


Diterbitkan

pada

Judul lukisan “Rapat Sanggar Bumi Tarung” ukuran: 140 x 200 cm, tahun pembuatan 2009, media oil on canvas, koleksi EZ. Halim. Foto: rendy tisna

KANALKALIMANTAN.COM, BANJARMASIN- Di ballroom lantai dua Fave Hotel Banjarmasin, Misbach Tamrin duduk tegak menghadap forum. Dia tampil modis dengan topi pet, kacamata, dan kemeja katun merah polos lengan panjang. Masih tampak gagah di usianya yang ke-82 tahun.
Hari itu jadwal acara Focus Group Discussion (FGD) penyusunan proposal tim riset, dokumentasi karya pengetahuan Maestro 2023. Sebelum semuanya benar-benar dimulai, saya duduk di samping dia, memperkenalkan diri, meletakkan setumpuk buku tentangnya, lalu minta ditandatangani.

“Bapak biasanya dipanggil dengan nama apa?” saya mengawali bertanya.

Dia memiringkan badan, mendekatkan kuping. Gendang telinganya sudah sedikit bermasalah. “Terserah.”

“Bisa Misbach, kadang juga Tamrin, yang mana saja.”

“Saya panggil pak Misbach, ya.”

Dia mengangguk, tersenyum, lalu bertanya balik. “Dimana kamu dapat buku-buku ini?”

“Hampir semuanya beli di online, satu buku di Bang Hajri, kampung buku Banjarmasin,” jawab saya.

Tangan kanan Misbach mengais buku berjudul “Amrus Natalsya dan Bumi Tarung” ditulis 2008, buku itu diselesaikannya selama beberapa bulan, di kaki Gunung Salak.

Dia memandangi sampul bukunya, foto Amrus duduk di atas ranjang, lalu menerawang sebentar. Entah apa yang dipikirkannya?. Kemudian membubuhkan tanda tangan di satu-persatu buku yang saya bawa tadi, dengan sebatang pensil.

***

Amrus Natalsya adalah seorang pematung dengan keahlian pahat dan cukil kayu yang luar biasa. Dia bukan hanya sekadar kawan senasib dan sependeritaan bagi Misbah, tetapi pengaruhnya sangat besar dalam karir dan kehidupan dia hingga masa sekarang.

Jauh sebelum keduanya kenal dekat, Misbah di Kota Banjarmasin, sebelum hijrah ke Yogyakarta, mendengar ketenaran nama Amrus lewat karya patungnya “Orang Buta yang Dilupakan” dibeli oleh Soekarno, Presiden Republik Indonesia pertama. Kemudian “Jeritan Tak Terdengar” dibeli oleh Departemen P & K (Pendidikan dan Kebudayaan) Pusat pada 1955.

Informasi yang masuk ke telinganya, Amrus juga dipuji Claire Holt, kritikus seni Amerika Serikat, yang berkata jika karya Amrus paling orisinil, mutunya jarang dijumpai pada karya-karya seniman Indonesia lain.

Amrus dan Misbach pertama kali berkumpul dalam pameran bersama mahasiswa pameran Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Balai Budaya, Jakarta pada 1960. Di sana, Misbach tahu jika Amrus juga ahli melukis. Sejak saat itu, perkenalan mereka berlanjut hingga terjalin akrab.

Pada 1982, Amrus pernah datang ke hutan hujan tropis di Kecamatan Kintap, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Kurang lebih 150 Km berjarak dari Kota Banjarmasin. Beberapa bulan, dia terbenam menekuni pembuatan lima buah patung kaligrafi, sepanjang delapan meter, pesanan Wali Kota Jeddah, Arab Saudi.

Kaligrafi itu bertema, Allahu Akbar. Kayu besi -kayu ulin- sengaja dipilih Amrus sebagai bahannya, lantaran memiliki kekuatan yang tahan terhadap cuaca. Kaligrafi rencananya dipajang sebagai eksterior ruangan. Proyek kaligrafi dikerjakan langsung di hutan Kalimantan, namun Amrus tidak melihatnya sebagai pekerjaan yang berat. Sepengetahuan Misbach, Amrus sudah sering terlibat dalam proyek semacam itu.

Titimangsa tahun 1963 hingga 1964, Amrus mendapat proyek membuat patung di Hotel Duta, Jakarta. Dia juga mengerjakannya di lokasi, pengambilan kayu dilakukan dari hutan Provinsi Lampung, Pulau Sumatra, selama beberapa bulan. Sementara untuk yang di Kalimantan, Amrus tidak membawa satupun alat, begitu juga tenaga kerja dari Jakarta. Pikirnya, di sekitar lokasi dapat merekrut tenaga kasar, termasuk melibatkan Misbach Tamrin.

“Cuma lantaran waktu itu saya baru menikah dan istri mengandung anak pertama, usia enam bulan, bantuan saya terbatas,” ujarnya.

Begitu selesai mengerjakan kaligrafi di Kecamatan Kintap, Amrus membawanya ke pelabuhan Banjarmasin melalui jalur darat, kemudian dibawa ke pelabuhan Tanjung Perak Surabaya untuk dikirim kembali ke pelabuhan di Arab Saudi.

Untuk pemasangannya di Jeddah, Amrus membawa tiga orang lain dari Jakarta dan dua tenaga operator chainsaw lokal dari Kalimantan, orang yang sebelumnya membantu dia di Kintap. Lima orang itu berangkat menggunakan pesawat terbang. Selama tiga bulan, mereka mendirikan patung kaligrafi, di Jeddah.

Amrus berkata “Aku telah mendapat teguran dari Suara Mukjizat.” sewaktu di Tanah Suci.

Yang Misbach lihat “Yang jelas setelah itu ia rajin shalat dan berpuasa, yang wajib maupun sunnah,” terangnya.

“Ia (Amrus) juga pernah hadir dan menghibur di RS Suaka Insan saat saudara saya M Noor dalam keadaan koma. Ia juga berbagi suka saat kelahiran pertama istri saya. Menghadiahkan sepeda motor Honda dan sebuah TV Toshiba. Itulah hadiah perkawinan, yang walau waktunya terlambat sekitar delapan bulan, tapi jelas amat bermanfaat,” kenangnya.

***

Musim hujan 2017, Misbach sengaja terbang dari bandara di Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan menuju bandara Soekarno-Hatta Tangerang. Dia melanjutkan perjalanan darat dengan bus Damri menuju Danau Lido, Bogor, tempat Amrus bermukim.

Kedatangan dia, untuk perayaan hari ulang tahun Amrus yang ke-84. Amrus Natalsya lahir pada 21 Oktober 1933, di Medan, Sumatera Utara. Nama marga bataknya adalah Tanjung Pasaribu, tapi nama marga itu jarang dipakainya, seperti lazimnya orang Batak Sumatera Utara. Amrus adalah nama pemberian orang tuanya, sementara Natalsya gabungan Natal sebagai kampung asal moyangnya dan Sya sebagai turunan sang kakek, Syah Alam, seorang seniman biola.

Amrus Natalsya (kiri) dan Misbach Tamrin (kanan) di bengkel kerja hutan Kintap, Kalimantan Selatan saat mengerjakan patung kaligrafi pesanan Wali Kota Jeddah Arab Saudi. Sumber foto: buku Amrus Natalsya dan Bumi Tarung, tulisan Misbach Tamrin

Perjalanan Misbach menemui Amrus saat di Bogor, bukan tanpa kendala di usianya yang sudah sepuh. Suatu ketika di tengah hujan lebat, angkot yang dia tumpangi nyelonong ke arah Cicurug. Akibatnya dia menginap di kawasan terpencil, baru besok harinya melanjutkan perjalanan menuju Gunung Salak.

Begitu tiba di galeri Amrus Bumi Tarung (ABT), kesan pertama Misbach melihat lingkungan sekitar tidak banyak berubah. Amrus sebagai tuan rumah juga tampak lebih sehat, banyak bergerak dan berjalan. “Sangat berbeda dengan setahun yang lalu, lebih banyak duduk di kursi roda terganjal penyakit tua yang niscaya,” ujarnya.

Seangkatan Misbach, Amrus juga sudah melewati tiga orde pemerintahan Indonesia (Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi) menghasilkan ribuan karya besar di banyak kolektor, dalam dan luar negri. Bahkan hingga melewati usia 80 tahun ia masih produktif berkarya walau dibantu oleh sekelompok tim kerja selaku kru dan artis-nya.

Suatu momen, di antara tekanan penyakit Amrus yang belakangan cukup mengkhawatirkan mereka berbincang. “Kapan finishnya,” Misbach melempar pertanyaan kepada Amrus yang tengah mengerjakan patung kayu.

“Terserah yang diatas (Maksudnya Allah yang Kuasa, red),” katanya tersenyum lirih. Dia pun tak tahu.

Amrus menapaki hari-hari dalam hidupnya, banyak menghabiskan waktu di galeri ABT yang cukup besar, berlantai tiga, lokasinya berbaur dengan permukiman rakyat menengah ke bawah.

Amrus dan Misbach bersahabat lebih dari setengah abad. Hubungan mereka tadinya sempat terputus ketika keduanya ditahan pemerintah pasca tragedi G30S PKI. Misbach ditahan dari 1965 hingga 1978 di Kalimantan Selatan. Amrus ditahan di Jakarta dari 1968 hingga 1974. Amrus Natalsya meninggal dunia di usia 91 tahun pada 31 Januari 2024 di Cibinong, Jawa Barat.

***

Hamdan Eko Benyamin, akrab disapa -Bang Ben-, Ketua Tim Internal, sekaligus Direktur Akademi Bangku Panjang Mingguraya (ABPM) Banjarbaru menghampiri kami, Misbach dan saya, yang tengah berbincang sebentar di kursi paling depan. Dia melihat Misbach baru selesai membubuhkan tandatangan di buku-buku, lalu menawari meminjamkan pulpennya yang barangkali dapat digunakan, agar tanda tangan lebih tegas warnanya, tidak mudah terhapus.

“Kenapa tidak pakai pulpen?, padahal ini ada pulpen,” Bang Ben, menyodorkan sebatang pulpen.

“Sudah selesai bang Ben (tanda tangannya). Sudah aman.”

Lalu saya setengah berbisik kepada Bang Ben. “Kata pak Misbach pakai pensil aja.”

Kami menghentikan obrolan dan, acara Focus Group Discussion (FGD) penyusunan proposal riset, dokumentasi karya Pengetahuan Maestro, OPK Rawan Punah, pertengahan April 2024 baru saja benar-benar dimulai. (KanalKalimantan.com/Rendy Tisna).

Catatan: Artikel di atas sebelumnya berjudul, Kisah Perjalanan Maestro Lukis Kalsel Misbach Tamrin. Judul mengalami penyuntingan guna menyesuaikan dengan tulisan berseri dalam Kumpulan tulisan Misbach Tamrin: Dalam Bayang Seni Rupa Indonesia.

Reporter: Rendy Tisna
Editor: Cell & Bie


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->