Connect with us

HEADLINE

AWAS. Limbah Medis Covid-19 Bisa Menjadi Problem Baru yang ‘Mengancam’ Masyarakat!


Di China, 1 Pasien Terinfeksi Menyumbang 14,3 Kg Limbah Medis Per Hari


Diterbitkan

pada

Limbah medis Covid-19 bisa menjadi ancaman baru bagi masyarakat Foto: xinhua

KANALKALIMANTAN.COM, JAKARTA – Saat ini tercatat sejumlah rumah sakit di Kalimantan Selatan (Kalsel) merawat pasien dengan status positif maupun Pasien Dalam Pengawasan (PDP) corona atau Covid-19. Gugus Tugas P3 Covid-19 Kalimantan Selatan mengungkapkan, per Senin (6/4/2020) sore, sudah ada 15 pasien dalam pengawasan (PDP) yang dirawat di 5 rumah sakit (RS) berbeda.

Pertama di RSUD Ulin Banjarmasin sebanyak 8 pasien, RSUD Moch Ansari Saleh Banjarmasin sebanyak 5 pasien, serta RSUD H. Boejasin Pelaihari, dan RSUD Paringin Balangan 1 pasien.

Di tengah penanagan pasien, saat ini yang tak kalah penting menjadi perhatian adalah terkait limbah medis Covid-19. Sebab sebagaimana diketahui, belum semua RS memiliki incenerator untuk pemusnahan limbah medis. Apalagi, saat ini juga ada sejumlah PDP yang dirawat dengan karantina mandiri di rumah. Lalu, bagaimana penanganan sampah medisnya?

Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas) Bagong Suyoto mengatakan limbah medis yang dihasilkan dari penanganan pandemi Covid-19 potensial menimbulkan masalah. Jika limbah tidak dikelola sesuai prosedur, maka ada potensi virus menyebar ke warga terutama para pemulung.

Saat ini banyak rumah sakit yang belum memiliki teknologi pengelolaan limbah medis bahan berbahaya dan beracun (B3) yang memadai, kata Bagong. Mereka lantas menggunakan jasa pihak ketiga. Dari pihak ketiga inilah biasanya limbah ‘bocor’. “Banyak pihak ketiga izinnya diragukan. Sampah yang harusnya diangkut ke lokasi pembakaran malah dipilah-pilah dulu karena masih punya nilai ekonomis,” kata Bagong seperti dilansir Tirto.

Persoalan bertambah runyam karena limbah medis Covid-19 juga mungkin berasal dari rumah-rumah orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP) yang melakukan karantina mandiri. Limbah medis ini, contohnya masker, botol obat, dan tisu tercampur dengan sampah rumah tangga biasa saat dibuang. “Enggak ada pemilahan sehingga enggak ketahuan. Pas pengangkutan enggak ada pemilahan juga,” katanya.

Sekretaris Jenderal Perkumpulan Ahli Lingkungan Indonesia (Sekjen IESA) Lina Tri Mugi Astuti mengutip laporan Kementerian Kesehatan pada November tahun lalu, menyebut ada 296 ton limbah medis per hari dari 2.852 rumah sakit, 9.909 puskesmas, dan 8.841 klinik.

Tidak semua dapat mengelola limbah sendiri. “Dari 2852 rumah sakit, baru 96 yang punya insenerator, itu pun di beberapa rumah sakit sudah tidak laik operasional,” kata Lina.

Sementara Direktur Kesehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Imran Agus Nurali mengatakan total fasyankes yang mempunyai izin pengolahan limbah B3 ada 85, tersebar di 20 provinsi. 82 unit pengolahan menggunakan insenerator dan sisanya memanfaatkan autoklaf. Sebagian lainnya mengandalkan badan usaha pengolah limbah medis.

Lina menyebut badan usaha yang mengelola limbah medis B3 baru ada lima di Jawa dan satu di Kalimantan, dengan kapasitas pengolahan sebanyak 151,6 ton per hari. Ringkasnya, kata Lina, pada kondisi normal saja “Indonesia masih memiliki permasalahan pengelolaan limbah medis.”

Lina lantas mengatakan saat ini belum ada data peningkatan limbah medis karena Covid-19. Namun, merujuk simulasi Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, akan ada 600 ribu orang positif Covid-19 yang bakal menghasilkan limbah baru.

Sementara studi kasus China, Lina bilang rerata pasien terinfeksi menyumbang 14,3 kg limbah medis per hari. Di sana limbah medis yang semula 4.902 ton/hari menjadi 6.066,8 ton/hari setelah COVID-19 menyerang 81 ribu orang.

Baca:https://www.kanalkalimantan.com/incinerator-terbatas-limbah-medis-bisa-jadi-bom-waktu-di-kalsel/

Direktur RSPI Sulianti Saroso Mohammad Syahril mengakui peningkatan limbah medis setelah COVID-19 memang cukup signifikan. RSPI adalah salah satu rumah sakit rujukan pandemi. Mereka memiliki insenerator sendiri. “Rerata satu pasien konfirmasi positif menghasilkan 20 limbah APD (alat pelindung diri). Cukup banyak APD yang digunakan untuk merawat pasien di ruang isolasi,” kata Syahril.

Limbah APD yang RSPI hancurkan pada Februari sebanyak 130 kilogram, kata Syahril, dan Maret lalu meningkat jadi 500 kilogram. Rumah sakit melakukan pembakaran setelah menyimpan APD selama 2×24 jam. Surat Edaran Terbaru Untuk menangani persoalan ini, pemerintah lewat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan Surat Edaran No. SE.2/MENLHK/PSLB3/PLB.3/3/2020 Tentang Pengelolaan Limbah Infeksiksius (Limbah B3) dan Sampah Rumah Tangga dari Penanganan Corona.

Limbah Medis di Kalsel

Diakui, limbah medis dan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) di Kalsel bisa menjadi ancaman serius jika tak segara ditangani pemerintah. Mengingat, saat ini jumlah rumah sakit yang memiliki incinerator cukup terbatas.

Di Kalsel, tercatat baru ada 4 rumah sakit yang memiliki incinerator sendiri. Salah satunya adalah RSUD Ulin, yang sejak beberapa waktu lalu memutuskan untuk tak menerima limbah medis dan limbah B3 dari fasilitas kesehatan, saat ini rumah sakit, klinik hingga puskesmas. Lalu, mau dikemanakan limbah berbahaya itu?

Imbasnya, tentu saja ditengarai terjadinya penimbunan limbah medis dan B3. Apalagi, saat ini jasa transportir limbah medis juga sangat sedikit. Disamping juga mahal harganya. Bayangkan saja, untuk jasa pembuangan jasa limbah medis melalui jasa transportir memerlukan biaya sebesar Rp 30-45 ribu per kilo. Angka tersebut lebih mahal daripada jasa yang diterima RSUD Ulin atas pemusnahan limbah medis yang hanya sebesar Rp 25.000 per kilo.

Tak hanya itu, keterlambatan pengangkutan limbah medis dan limbah B3 juga menjadi salah satu masalah tersendiri. Anggota pengembangan SDM Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia (HAKLI) Kalsel, Rachmad Arifuddin mengatakan, keterlambatan pengangkutan limbah medis juga disebabkan masih terbatasnya jumlah armada transportir. “Jumlahnya masih sedikit. Ditambah lagi rumah sakit klinik hingga Puskesmas juga terkendala biaya yang lebih mahal dibandingkan menitip dengan rumah sakit yang punya insinerator,” ungkapnya.

Saat ini di Kalsel diketahui ada tiga jasa transportir hingga pemusnahan limbah B3 dan medis yaitu Artama Sentosa Indonesia, Sinar Bintang Albar, dan Mitra Hijau. “Harusnya pengambilan dan pemusnahan limbah medis dan B3 maksimal 2 kali 24 jam. Tapi terbatasnya armada menyebabkan ditemukannya adanya pengangkutan yang tertunda,” katanya.

Idealnya, semua kabupaten dan kota harus memiliki insinerator. Fasilitas Kesehatan bisa menumpang ke rumah sakit Selama rumah sakit yang menerima memiliki surat izin atau dengan melakukan pemusnahan melalui jasa pihak ketiga pemusnah limbah medis dan B3.(Kanalkalimantan.com/cel/tirto)

 

Editor : Cell

 


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->