Connect with us

HEADLINE

Banjir Kalsel Greenpeace Indonesia: Deforestasi Masif, Disikat Sawit dan Tambang!

Diterbitkan

pada

Banjir besar melanda 10 kabupaten kota di Kalsel di awal tahun 2021. Foto: dok kanalkalimantan

KANALKALIMANTAN.COM, JAKARTA – Greenpeace Indonesia menduga banjir bandang melanda Kalimantan Selatan (Kalsel) lantaran Daerah Aliran Sungai (DAS) telah kehilangan sekitar 304.225 hektare tutupan hutan sepanjang 2001-2019. Sebagian besar sudah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit

Juru Bicara Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Kompas menjelaskan, DAS itu merupakan wilayah yang seharusnya menampung air hujan di Kalimantan Selatan. Namun karena tutupan hutannya berkurang drastis, kemampuan menampung air jadi berkurang.

“Kalau dari pantauan kita, 2001 sampai 2019 sekitar 304.225 hektare kehilangan tutupan hutan di situ. Itu yang menunjukkan daya tampung pendukung hutan di daerah itu sudah menurun drastis,” katanya seperti dilansir CNNIndonesia.com, Senin (18/1/2021).

 

Ia menjelaskan bahwa Kalimantan Selatan memiliki dua DAS yang menjadi penampung air hujan guna menghindari banjir, yakni DAS Barito dan DAS Maluka. Keduanya berada di area pegunungan Meratus.

Namun, kata dia, kian tahun deforestasi di wilayah tersebut semakin masif. Ini tak lain karena konsesi kelapa sawit sampai lubang tambang yang terus menjarah tutupan hutan di sana.

“Itu di bawah kaki gunung Meratus dihajar sama sawit. Di sisi lain memang Banjarmasin masih terpengaruh pasang surut juga. Ketika air pasang akan memperparah banjir,” tuturnya.

Masifnya angka deforestasi masih menjadi permasalahan lingkungan yang sarat ditemukan. Mengutip data Forest Watch Indonesia dalam laporan “Angka Deforestasi Sebagai Alarm Memburuknya Hutan Indonesia”, rasio hutan di Kalimantan hanya memenuhi 47 persen dari total daratan per 2017.

Angka deforestasi yang terus meningkat setiap tahun. Pada tahun 2000, tutupan hutan alam di Kalimantan mencapai 33,2 juta hektare. Kemudian turun menjadi 28,3 juta hektare tahun 2009, 26,8 juta hektare pada 2013 dan 24,8 juta hektare pada 2017.

Salah satu faktor dari penurunan luas tutupan hutan adalah masifnya jumlah konsesi yang memanfaatkan kawasan hutan dan lahan. FWI mencatat hingga 2017 terdapat 32 juta hektare hutan alam yang sudah dibebani izin berusaha.

Khusus untuk Kalimantan, besaran paling luas yakni 12,8 juta hektare hutan yang dilepas untuk izin usaha. Angka itu terdiri dari 5,2 juta hektare untuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH), 756 ribu untuk Hak Tanaman Industri (HTI), 642 ribu untuk perkebunan kelapa sawit dan 1,5 juta untuk tambang. Juga ada 4,6 juta lahan hutan yang masih tumpang tindih antara izin untuk HPH, HTI, perkebunan kepala sawit dan tambang.

Dampaknya

Selain karena daya tampung air yang berkurang, deforestasi juga mendorong terjadinya krisis iklim yang bisa berpengaruh besar pada curah hujan ekstrem di musim penghujan. Dengan curah hujan tinggi dan kurangnya tampungan air, potensi banjir jadi semakin besar.

Tak hanya di Kalimantan, dampaknya juga terasa dalam skala nasional lantaran penurunan luasan tutupan hutan konsisten terjadi di berbagai daerah.

Pada tahun 2000 tutupan hutan mencapai 106,4 juta hektare. Lalu menurun menjadi 93 juta hektar di tahun 2009, 88,5 juta hektare tahun 2013 dan 82,8 juta hektare tahun 2017.

“Krisis iklim sudah terjadi. Itu ramalan IPCC (Intergovermental Panel on Climate Change) yang memproyeksi apa yang terjadi 50 tahun ke depan sudah di depan mata. Curah hujan semakin tinggi, itu faktor perubahan iklim,” kata Arie.

Meskipun ada banyak faktor yang bisa mendorong krisis iklim, seperti pengolahan sumber daya fosil dan pemanasan global, Ia mengatakan penebangan hutan juga menciptakan karbon yang memperparah perubahan iklim.

KLHK sendiri pernah mengungkap potensi bencana banjir sebagai salah satu dampak dari krisis iklim jika tidak ditangani dengan baik. Itu disampaikan melalui “Studi Perubahan Iklim di Indonesia” yang diterbitkan 2017 lalu.

“Perubahan iklim di masa depan dapat memperluas daerah rawan banjir, khususnya pada skenario periode curah hujan berulang 5-10 tahun dan meningkatkan frekuensi banjir besar untuk periode ulang sekali dalam 10-25 tahun,” tulis studi tersebut. (cnn/kanalkalimantan)

Reporter: cnn/kanalkalimantan
Editor: kk


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->