Connect with us

HEADLINE

Bencana Terus Berulang, Walhi Pertanyakan Kebijakan ‘Satu Peta’ Tata Kelola Hutan dan Lahan

Diterbitkan

pada

Walhi bersama Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif mempertanyakan kebijakan satu peta yang sudah sampai pada tahap singkronisasi IGT (Informasi Geospasial Tematik) dan menetapkan Peta Indikatif Tumpang Tindih IGT (PITTI) yang ada di 17 provinsi. Foto: ist

KANALKALIMANTAN.COM, BANJARBARU– Tercatat ada 168 kejadian bencana hidrometeorologi berupa banjir dan tanah longsor sejak awal tahun 2021 hingga hari ini yang terjadi di beberapa lokasi di Indonesia. Dan yang terbesar, terjadi di Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) dengan dampak luas dan melumpuhkan aktivitas sosial ekonomi di 11 Kab/Kota di Provinsi ini.

Hingga tanggal 21 Januari 2021, BNPB menyatakan akibat dari bencana banjir dan longsor di Provinsi Kalimantan Selatan ada 21 orang meninggal dunia, 483.324 jiwa terdampak bencana, dengan total kerusakan kerugian sebesar Rp 1,127 triliun.

“Kejadiaan bencana di Kalsel dan di daerah lainnya ini merupakan satu potret fakta bencana hidrometeorologi yang terus berulang dan menghantui rakyat Indonesia,” kata Direktur Eksekutif Wahana Lingkungkungan Hidup (Walhi) Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono, dalam pernyataan bersama yang disampaikan ke Kanalkalimantan.com, Selasa (25/1/2021).

Selama ini, banyak pendapat menyatakan bencana hidrometeorogis yang terjadi disebabkan oleh kegiatan ekstraktif manusia yang terus mengurangi kemampuan terhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan. Sehingga sesungguhnya bencana ini sebuah keadaan yang mampu untuk dicegah oleh para pengurus negara melalui kebijakan ruang dan pembangunan yang berpihak pada keselamatan sosial ekologi.

Namun faktanya hingga hari ini apa yang digaungkan pemerintah tentang corrective action terutama dari sisi tanggung jawab negara untuk upaya melindungi dan mencegah kerugian kerusakan dampak bencana masih menjadi hanya sekedar lips service jika pun ada upaya namun masih sangat lambat dan sangat normatif.

Hal sama disampaikan Ach Rozani, Manajer Tata Ruang Dan GIS Walhi Nasional. Ia mengatakan, yang harus di pahami oleh pengelola negara hari ini bahwa kejadian bencana yang terus berulang dan diikuti dengan kecenderungan kerugian kerusakan yang terus membesar tentu tidak dapat dilepaskan.

“Ini merupakan hasil dari produk Politik Ekologi Sosial yang telah dibuat negara melalui instrument kebijakan dan aturan yang masih proinvestasi dan terus mengorbankan infrastruktur sosial ekologi yang ada, bahkan ini diperparah lagi ada motif komodifikasi terhadap bencana yang selama ini terjadi,” kata Rozani.

Senada dengan itu Imam Hanafi, selaku Kepala Divisi Advokasi Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif, mengatakan, sesuai dengan tujuannya, keberadaan kebijakan satu peta (onemap policy) bisa menjadi rujukan awal dalam pengelolaan ruang yang berwawasan lingkungan.

Selain sebagai dasar bagi proses penyelesaian konflik ruang melalui proses sinkronisasinya. Saat ini kebijakan satu peta yang sudah sampai pada tahap sinkronisasi IGT (Informasi Geospasial Tematik) dan menetapkan Peta Indikatif Tumpang Tindih IGT (PITTI) yang ada di 17 provinsi (Riau, Sulawesi Selatan, Lampung, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, dan Papua Barat) yang dalam pelaksanaannya hanya sekedar untuk menfasilitasi kompromi tumpang tindih sektor IGT yang ada di Kementerian dan Lembaga.

“Tidak adanya Informasi Geospasial dari masyarakat (Lokal/Adat) tentang ruang sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam wujud Peta Partisipatif dalam Kebijakan Satu Peta seperti hilangnya Walidata IGT Wilayah Adat, hal tersebut kemudian berdampak terhadap tidak adanya nomenklatur “wilayah adat” dalam Kebijakan Satu Peta,” katanya.

“Ketiadaan peta partispatif yang dibuat oleh masyarakat (Lokal/Adat) menjadi entry point timbulnya bencana ekologi dan sosial akibat lemahnya peran serta masyarakat untuk terlibat dalam mengontrol ruang dan lingkungan sekitarnya, khususnya jika berhadapan dengan klaim Negara atau perijinan,” tambah Hanafi.

Maka di tengah kehendak publik bagaimana upaya pencegahan dan pengurangan dampak negatif bencana yang lebih serius dalam kerangka kebijakan negara yang tepat guna dan tepat tempat maka penting untuk pemerintah menyegerakan revisi Perpres kebijakan satu peta ke depan dan juga bersikap lebih terbuka dan partisipatif terhadap data dan inisiatif yang rakyat lakukan.

“Perlu diingat juga penyelesaian tumpang tindih pemanfaatan lahan merupakan bagian Rencana Kerja Prioritas Pemerintah yang tertuang dalam RPJMN 2020-2024, khususnya dalam lampiran 1 narasi RPJMN serta lampiran 4 arah pembangunan wilayah RPJMN,” lanjut Rozani.

Imam Hanafi menambahkan, Perpres Kebijakan Satu Peta berikutnya harus dapat menjawab beberapa permasalahan seperti mengakomodir data spasial masyarakat yang tertuang dalam peta partisipatif serta mengintegrasikan dalam Kebijakan Satu Peta. Dengan demikian dapat menjadi salah satu data rujukan dalam proses sinkronisasi spasial dalam rangka penyelesaian konflik tumpang tindih ruang dan penegasan status ruang.

“Permasalahan berikutnya adalah mengembalikan keberadaan dan fungsi walidata bagi masyarakat adat bagi proses pengakuan, perlindungan dan pemberdayaan masyarakat adat di Indonesia, hilangnya nomenklatur Wilayah adat akan berpotensi mengancam keberadaan “wilayah adat” sebagai entitas utuh dari masyarakat hukum adat dan yang terakhir yaitu terbatasnya akses masyarakat untuk dapat mengakses Informasi Geospasial melalui JIGN (Jaringan Informasi Geospasial Nasional), hal ini kemudian berakibat pada ketidaktahuan publik tentang sejauh mana IGT itu dikompilasi, di integrasi maupun di sinkronisasi dalam Kebijakan Satu Peta, kemudian kebijakan tersebut akan berjalan tanpa pengawasan dari publik,” terangnya.

Melalui hal ini, Walhi bersama Jaringan Kerja Pemetaan partisipatif mendesak pemerintah untuk:
1) Revisi Perpres No. 9 Tahun 2016, substansi dan targetnya harus mampu menerima produk geospasial yang dibuat oleh rakyat.

2) Peta Partisipatif harus menjadi dasar dalam melakukan proses verifikasi dalam tahapan sinkronisasi dan penyelesaian tumpang tindih IGT yang dibuat oleh Wali Data (Kementerian dan Lembaga) terhadap wilayah kelola masyarakat (adat/lokal).

3) Data dan Informasi atas status peta HGU, HPL, HGB, Peta Izin Pemanfaatan Kawasan Hutan dalam bentuk IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, IUPHHK-RE, Peta Izin Usaha Pertambangan harus terbuka sebagai pengawasan dan kontrol publik.

4) Perlunya adanya walidata atas wilayah adat untuk melengkapi dan menegaskan keberadaan Hutan Adat dan Hak Komunal (tanah ulayat).

5) Kompilasi, integerasi dan sinkronisasikan peta masyarakat (masyarakat adat dan lokal) kedalam Kebijakan Satu Peta sebagai salah satu data rujukan dalam melakukan proses verifikasi status dan fungsi ruang lintas kementerian.
Dalam rangka mewujudkan partisipasi masyarakat terhadap Kebijakan Satu Peta, diperlukan adanya kejelasan mekanisme adopsi, verifikasi, registrasi dan penetapan serta standarisasi oleh walidata. (Kanalkalimantan.com/ril)

 

Reporter : Ril
Editor : Cell

 

 

 


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->