HEADLINE
Berebut ‘Paguruan’ di Pilkada Banjar, Pengaruh Ulama dalam Pusaran Politik Lokal
Ulama dan Dunia Politik
Sepak terjang ulama di kancah politik bukan hal baru. Jika menengok pada Pilpres 2019 lalu, ulama menjadi medan grafitasi politik nasional. Pengaruh gerakan 212 yang dimotori ulama dan Habib Riziek Syihab, forum ijtima’ ulama, hingga majunya Ketua Umum MUI KH Maruf Amin sebagai calon Wakil Presiden Joko Widodo, merupakan wujud keterlibatan ulama dalam politik praktis.
Wakil Dekan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta Dr Bakir Ihsan mengungkapkan sepak terjang ulama di gelanggang kekuasaan bukan barang baru. Sebelumnya ada KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang pernah menjadi Presiden RI kelima.
Kemudian ada Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi yang maju dalam Pilpres 2004 sebagai cawapres Megawati Soekarnoputri, dan Amien Rais sebagai Ketua MPR. “Jadi tak ada yang istimewa dalam munculnya ulama di gelanggang politik,†katanya dilansir media Gatra.
Kenapa ulama? Karena mereka memiliki basis yang riil di masyarakat, maka para ulama menjadi rebutan parpol. “Mereka dianggap sebagai orang-orang yang tidak hanya memiliki kapasitas keilmuan secara teoritik karena pemahaman kepada teks khazanah intelektual Islam klasik, tetapi juga memiliki kedekatan dengan rakyat sehingga memudahkan mereka untuk memahami dinamika yang terjadi di dalamnya dan memahami aspirasi mereka,” lanjutnya.
Sementara itu, peneliti senior LIPI, Prof Syamsuddin Haris menilai berbahaya jika ulama menjadi partisipan kelompok politik, karena salah satu fungsi ulama adalah sebagai pemersatu umat. “Keterbelahan ulama bahaya. Yang terbelah bukan hanya ulama tapi umat. Karena salah satu fungsi ulama adalah mempersatukan,” katanya.
Namun menurutnya, ulama diharapkan mampu mengubah politik yang identik dengan perebutan kekuasaan menjadi mengabdi kepada rakyat dan negara. “Ulama orang mulia, orang baik, ulama terjun ke politik adalah untuk mengabdi dan mengayomi umat,” ucapnya.
Pecah Suara
Tampilnya sejumlah tokoh ulama di Pilkada Banjar dapat dilihat dari dua sisi dalam hal penggaet suara pemilih. Dengan ketokohannya, ulama diharapkan mampu menambah pundi-pundi suara di Pilkada karena mereka memiliki basis kuat dukungan di masyarakat.
Namun di sisi lain, tampilnya banyak tokoh ulama dalam satu Pilkada jutsru akan mengkotak-kotakan suara. Sehingga dukungan kandidat nantinya akan semakin tersegmentasi. Artinya, kandidat A yang menggandeng ulama A, kemungkinan hanya akan didukung oleh masyarakat yang selama ini berkhidmat dengan ulama tersebut. Demikian juga yang lainnya.
Sehingga, dari analisasa politik, jutsru kandidat yang tak menggandeng tokoh agama relatif akan diuntungkan. Karena ditengah pusaran tarik-menarik dukungan tersebut, suara masyarakat yang lebih umum akan jatuh kepada mereka. Namun, pendapat itu tentunya masih harus diuji hasilnya pada Pilkada nanti.
Manariknya, data dari sebuah survei yang dilakukan lembaga independen di Jakarta, ternyata pilihan politik di Pilkada lebih banyak ditentukan oleh pilihan masyarakat sendiri daripada mengikuti tokoh atau ulama. Tingkat keiikutsertan pemilih mengikuti suara tokoh atau ulama di Pilkada ternyata di bawah 10 persen saja.(kanalkalimantan.com/cel)
Editor : Chell
-
HEADLINE2 hari yang lalu
BREAKING NEWS: Maling Motor Tergeletak di Pinggir Jalan Trikora
-
HEADLINE2 hari yang lalu
Terduga Maling Sepeda Motor Diringkus Warga di Jalan Trikora
-
HEADLINE3 hari yang lalu
Hujan-hujanan, Bocah di Banjarbaru Meninggal Dunia di Selokan Sempit Depan Rumah
-
Bisnis3 hari yang lalu
Waspada Pinjaman Online, OJK Kalsel: Pinjol Ilegal Cenderung Beri Kemudahan Diawal
-
Kota Banjarmasin2 hari yang lalu
Nyawa Lelaki di Banjarmasin Berakhir dalam Lilitan Ayunan Hammock
-
Kalimantan Selatan3 hari yang lalu
Hilang Saat Tambat Kapal di Alur Sungai Barito