HEADLINE
Dari Bandsaw, Jejak Program Co-firing PLTU Asam Asam untuk Energi Bersih
KANALKALIMANTAN.COM, BANJARBARU – Pagi itu, Senin 20 Februari 2023 lalu, Siran (40) dan empat temannya sibuk di tempat penggergajian kayu (bandsaw). Suara mesin gergaji terdengar nyaring di lokasi pemotongan kayu -yang biasa dikenal masyarakat dengan sebutan bandsaw-, di Jalan Matah, Kota Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut (Tala), Kalimantan Selatan (Kalsel).
Lima tahun sudah Siran melakoni kerja di bandsaw. Tugasnya khusus, yaitu membelah berbagai jenis kayu yang datang. Mulai dari kayu mahoni, kayu kecapi, kayu durian, kayu cempedak hingga kayu nangka.
Lelaki 40 tahun ini mengaku selama bekerja di bandsaw tidak melulu bisa dilakukan setiap hari. Lantaran bahan baku kayu yang akan dipotong tidak selalu tersedia. Jika musim panas, kayu yang diantar ke bandsaw banyak, bisa bertumpuk-tumpuk. Namun, jika musim hujan seperti sekarang, dalam satu pekan dia dan empat temannya hanya bekerja tiga hari dalam sepekan.
“Sudah tiga minggu ini kayu sedikit yang masuk ke bandsaw, musim hujan seperti ini biasanya kayu susah diangkut dari hutan, jalan licin. Jadi kadang tidak setiap hari juga bekerja, jika ada kayu kita kerja, jika tidak ada kayu kita ya libur,” akunya.
Pendapatan Siran dan teman-temannya selama bekerja menjadi buruh di bandsaw pas-pasan. Mereka dapat upah Rp 130 ribu per kubik kayu. Di luar upah harian bekerja di bandsaw, penghasilan tambahan satu satunya didapat Siran dan teman-temannya dari mengumpulkan limbah hasil potongan serbuk kayu.
“Oleh pemilik bandsaw serbuk kayu itu limbah, dia memberikannya saja kepada kami,” ucapnya.
Limbah serbuk gergaji di bandsaw itu mulai bernilai ekonomi sejak 10 tahun belakangan. Serbuk kayu dibeli masyarakat di sekitar bandsaw untuk keperluan media tanam budidaya jamur tiram. Setahun belakangan dalam jumlah besar serbuk kayu juga dibeli sebagai bahan bakar di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Asam Asam.
“Kami mengutamakan kebutuhan masyarakat di kampung yang dipakai untuk jamur dulu, baru PLN. Limbah kayu yang dijual dihargai Rp 5.000 per karung,” ujarnya.
Untuk memenuhi keperluan serbuk kayu ke PLTU, pengrajin di bandsaw ini sedikitnya memerlukan 120 karung serbuk yang dihasilkan dari memotong tiga hingga lima rit kayu. Dalam sehari jika bahan kayu lagi banyak, serbuk kayu bisa dikumpulkan 20 hingga 25 karung.
“Untuk keperluan PLN itu saya bisa mengadakan serbuk kayu bisa satu bulan sekali, bisa juga setengah bulan sekali, tidak menentu,” aku Siran.
“Ini sudah lama tidak ada serbuk serbuknya, sebab bahan kayunya tidak banyak yang datang. Susah mengumpulkan serbuk sebanyak itu,” sambungnya.
Baca juga: PLN Uji Coba Tingkatkan Porsi EBT Hingga 20 Persen dalam Program Co-firing PLTU
Serbuk kayu bekas gergajian, biasanya sudah dipilah agar kualitasnya terjaga dan tidak tercampur dengan potongan kayu yang ukurannya lebih besar, serta tidak tercampur sampah lainnya. Sementara itu sembari menunggu waktu untuk diangkut, serbuk kayu yang sudah terkumpul ditutup dengan terpal agar terhindar dari basah jika hujan.
Mengumpulkan serbuk dari hasil pemotongan kayu dari bandsaw ke bandsaw di beberapa kecamatan di Kabupaten Tanah Laut ini adalah tugas Agus Ramadhani. Agus adalah satu dari enam pekerja di salah satu perusahaan penyedia serbuk kayu. Setiap hari Agus mengangkut serbuk kayu menggunakan truk dan memastikan serbuk kayu yang dibeli berkualitas bagus.
Sudah dua tahun lebih Agus ditugaskan bosnya menngambil serbuk kayu yang kemudian diangkut ke PLTU Asam Asam untuk keperluan co-firing.
Metode Co-firing adalah mencampur batu bara dengan biomassa untuk pembangkit listrik ini ada beberapa macam, termasuk kepingan kayu (wood chip), pelet kayu (wood pellet), serbuk kayu, cangkang sawit, sampah, hingga sekam padi.
Dalam sehari, Agus rata-rata mengangkut serbuk kayu dari bandsaw ke PLTU sebanyak dua hingga tiga kali, tergantung permintaan dan cuaca. Berat serbuk kayu yang diangkut bervariasi mulai dari 3,5 ton hingga 7 bahkan 8 ton. Tergantung berat dari serbuk kayu yang diperoleh setiap bandsaw, mengingat hasil serbuk kayu diperoleh dari hasil jenis kayu yang berbeda-beda.
“Serbuk kayu yang diambil ini biasanya ada yang sudah dimuat di karung, ada juga yang belum, ya langsung dimuat saja di truk, tergantung bandsaw-nya. Serbuk yang diangkut juga tidak selalu full truk satu bandsaw, ada juga yang dua tiga bandsaw dulu baru serbuknya penuh di truk,” akunya.
Untuk pekerjaan ini, Agus beruntung, PT Poncol Borneo Jaya perusahaan tempat ia bekerja membayarnya dengan gaji yang layak berdasarkan standar UMP dan dilengkapi BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan.
PT Poncol Borneo Jaya, menjadi satu-satunya perusahaan yang meyuplai serbuk kayu ke PLTU Asam Asam. Markus Jarot Sriyuono pemilik perusahaan itu.
Jarot -sapaan akrabnya-, menyuplai serbuk kayu itu sejak awal Co-firing mulai diuji coba, Januari 2021 lalu. Agar hitung-hitungan keuntungannya masuk, serbuk kayu yang dibeli itu diakui Jarot dipasok dari bandsaw yang jaraknya tidak lebih dari 70 kilo meter dari PLTU.
Baca juga: Lewat Program Co-firing, PLN Konsisten Turunkan Emisi PLTU Asam Asam
Kurang lebih ada 20 tempat usaha pemotong kayu di Pelaihari, Desa Asam Asam, Kecamatan Jorong, Desa Batakan di Kecamatan Panyipatan masih di Kabupaten Tanah Laut hingga Desa Sungai Danau, di Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu yang bekerja sama.
“Yang terbanyak (serbuk kayu) ya dari Sungai Danau,” katanya.
Ketersediaan serbuk kayu yang diperolehnya dari bandsaw ke bandsaw diakui Jarot masih tercukupi hingga sekarang. Tidak ada kendala yang berarti untuk memenuhi permintaan, padahal serbuk dikirim hampir setiap hari ke PLTU.
“Kita sanggupi terus, tergantung permintaan, 10 truk sehari ya sanggup,” tutup Jarot.
Program Co-firing PLTU Asam-asam ini diklaim membawa efek positif bagi perekonomian masyarakat sekitar. Program ini digadang-gadang berdampak pada perekonomian warga sekitar itu.
Zaenal, Camat Jorong, Kabupaten Tanah Laut mengaku mengetahui usaha pengolahan kayu di kecamatannya hanya ada satu perusahaan yang diyakininya sebagai satu-satunya pemasok serbuk kayu untuk keperluan PLTU.
Di saat yang sama, kondisi hutan di Kecamatan Jorong diakui Zaenal tak lagi seasri dulu. Sehingga jika kayu-kayu didapat dari Kecamatan Jorong kemungkinan sangat sedikit.
“Saya baru mengetahui kalau PLTU di situ sekarang ada program pencampuran serbuk kayu sebagai pembangkit listrik selain batu bara. Kalau tidak salah di sini hanya ada satu yang saya tahu untuk perusahaan pengolahan kayu itu,” katanya kepada Kanalkalimantan.com.
PLTU Asam Asam termasuk satu dari 114 unit (tersebar di 52 lokasi) pembangkit yang dikelola PLN menjalankan metode co-firing. PLTU ini satu dari 30 PLTU yang dikelola Independent Power Producer (IPP) dan PLN, lokasinya tersebar di lima provinsi di Kalimantan. PLTU Asam Asam berakhir pada tahun 2038.
PLTU Asam Asam sejak Oktober 2021, menjalankan program Co-firing dari serbuk kayu. Penerapan teknologi substitusi batu bara dengan biomassa sebagai bahan bakar PLTU Asam Asam diklaim sebagai upaya konsisten menurunkan emisi.
Bahan baku sawdust yang berasal dari bandsaw di area sekitar PLTU Asam Asam, diterima melalui jembatan timbang UPK Asam Asam menggunakan sistem trucking biomassa, yang kemudian disimpan di Area Stockpile guna meminimalisir kenaikan kadar moisture pada biomassa.
Proses pencampuran batu bara dan biomassa atau sawdust dilakukan pada vibrating funnel bunker. Dari operasi vibrating, kekuatannya diatur sedemikian rupa untuk mendapatkan flow bahan bakar yang diinginkan, kemudian selanjutnya dimasukan ke dalam ruang bakar.
Sementara itu dalam pelaksanaan Co-firing operator man control room dan operator lokal, melakukan pengamatan intensif pada parameter drop system hingga parameter pembakaran.
Kapasitas co-firing dari pencampuran serbuk kayu batu bara ini menghasilkan kapasitas Co-firing sebesar 2,83 megawatt dari beban harian. Nilai emisi parameter sulfur dioksida dan nitrogen oksida berada di bawah nilai baku emisi sebesar 550 mg per meter kubik. Sesuai nilai baku Baku Mutu Emisi (BME) Permen KLHK No.15 Tahun 2019 (data PLTU Asam Asam yang dirillis satu tahun yang lalu).
Manajemen PLN UPK Asam Asam berkomitmen, mengimplementasikan Co-firing biomassa jenis sawdust untuk mendukung target pemerintah mencapai bauran energi baru terbarukan, sebesar 23 persen tahun 2025 dan turut serta mewujudkan program breakthrough transformasi PLN.
Manager PLN Unit Pelaksana Pembangkitan (UPK) Asam Asam, Dani Esa Windiarto menjelaskan, penerapan Co-firing di PLTU Asam Asam ini peruntukan maksimalnya sebesar 5 persen serbuk kayu dan 95 persen batu bara, sesuai dengan batas pengujian.
“Dia fluktuatif. Rata-rata 2,5 persen serbuk kayu per hari, tapi kita pernah juga hingga 5 persen,” akunya.
Dari sisi pengoperasian pencampuran serbuk kayu dengan batu bara ini selalu disesuaikan dengan kondisi unit. Parameter operasional peralatan pembangkit selalu terpantau aman dan beberapa parameter emisi yang dihasilkan selama ini mengalami penurunan, tergantung dari energi hijau yang dibutuhkan dalam satu tahun.
Dani mengatakan di tahun 2022 saja, PLTU Asam Asam merealisasikan reduksi yang diturunkan dari co-firing berada di angka 0,00036 persen dari target energi hijau seluruh Indonesia. Sementara kebutuhan pemakaian sawdust dan batu bara saat ini di PLTU Asam Asam pada tahun 2022 mencapai 6.877 ton serbuk kayu dan 1 juta 300 ton batu bara.
“Energi yang dihasilkan dari campuran serbuk kayu dalam satu tahun itu dapat menghasilkan 8.318 Megawatt. Listrik dialirkan ke seluruh penjuru pulau Kalimantan,” sebutnya.
Dengan spesifikasi kualitas yang bagus biomassa dihargai sama dengan harga batu bara. Namun, jika kualitas serbuk kayu jelek akan ada sedikit selisih harga di bawah batu bara. Sementara harga produksi saat co-firing kata Dani, tetap sama. Mengingat prosesnya hanya mencampurkan serbuk kayu dengan batu bara saja.
Guna memastikan kualitas serbuk kayu itu bagus, surveyor independen ditugaskan setiap satu bulan atau dua minggu sekali, tergantung kebutuhan pembangkit, untuk mengambil sampling serbuk kayu.
“Jadi jika pembangkitnya kita ini empat itu beroperasi, maka otomatis kita banyak kebutuhan. Namun jika dua atau tiga pembangkit yang beroperasi maka otomatis ada penurunan pemakaian,” terangnya.
Energi Ramah Lingkungan Sulit Berkembang
Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Prof Dr Ir H Gusti Muhammad Hatta MS berpendapat Kalimantan Selatan memiliki potensi energi baru terbarukan cukup besar, namun upaya menggenjot penggunaan sumber energi ramah lingkungan atau Energi Baru Terbarukan (EBT), dinilai belum maksimal.
Target bauran EBT sebesar 23 persen pada 2025 mendatang menurut Hatta sulit dicapai. Hal ini merespon masih rendahnya realisasi bauran energi energi bersih.
Belum lagi dalam Peraturan Presiden Nomor 112/2022 Tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik, pemerintah masih mengizinkan PLTU batubara beroperasi hingga tahun 2050. Menurutnya, ini akan mengakibatkan perkembangan transisi energi ke energi ramah lingkungan cukup lambat. Ongkos energi ramah lingkungan mahal, sementara PLN membelinya mematok di bawah harga.
“Jadi tidak mungkin berkembang. Kuncinya subsidi pada fase awal. Dan permasalahan utama lainnya adalah teknologi dan biaya,” sambung lelaki kelahiran 1 September 1952 ini.
Menurut Menteri Riset dan Teknologi RI 2011 – 2014 ini, sumber daya PLTS, PLTB, dan PLTA di Kalsel cukup potensial. Sayangnya, 13 kabupaten/kota di Kalsel yang berpenduduk lebih dari 4 juta jiwa ini, sampai sekarang masih dominan memanfaatkan energi fosil batu bara.
Selain itu, juga ada yang menggunakan pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dengan menggunakan minyak bumi. Menerapkan energi terbarukan memerlukan investasi yang besar walaupun segala teknologi itu sudah tersedia.
Menurut dia, pilihan terbaik jika ingin beralih dari batu bara, minyak bumi, dan gas adalah PLTA. Sebab, Kalsel memiliki banyak sungai yang potensial menjadi bendungan PLTA.
Co-Firing Perpanjangan Umur PLTU, Juga Solusi Palsu
Agus Praditya Tampubolon, Ahli Manajemen Energi & Sistem Kelistrikan Institute for Essential Service Reform (IESR) mengatakan, praktik pencampuran biomassa dengan batu bara atau co-firing di PLTU Indonesia, dipandang sebagai upaya untuk menghindari aturan pemensiunan dini dan memperpanjang waktu operasional pembangkit listrik.
Keberlangsungan PLTU sangat berkaitan dengan industri batu bara sebagai pemasok bahan bakar utama. Adanya keterkaitan bisnis batu bara dengan PLTU menyebabkan bahan bakar fosil itu akan terus dipertahankan sebagai sumber listrik PLN.
“Menurut kita di IESR, untuk mengurangi emisi karbon, PLTU batu bara perlu dipensiunkan dan diganti dengan pembangkit listrik energi terbarukan,” kata Agus, Kamis (23/2/2023) siang.
Selain itu metode Co-firing juga tak berpengaruh terhadap penurunan emisi karbon yang dihasilkan dari proses kerja PLTU. Selain pengurangan emisi yang tak terlalu signifikan, metode Co-firing harus memperhitungkan sisi suplai bahan baku yang belum cocok dengan spesifikasi mesin PLTU dan harga yang belum ekonomis.
“Metode Co-firing sendiri tidak signifikan dalam mengurangi emisi karbon ini, justru dapat menjadi celah untuk memperpanjang umur PLTU,” singkatnya.
Metode Co-firing biomassa sendiri telah digunakan sejak akhir 1990-an di berbagai negara, termasuk Cina dan India. Dalam berbagai penelitian, biomassa disebut sebagai sumber energi terbarukan. Penggunaan khusus pada pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm) menghasilkan lebih sedikit emisi karbon dioksida, dibandingkan dengan energi fosil. Namun, opsi ini tidak pernah menjadi favorit selama 20 tahun terakhir.
Amalya Reza Oktaviani, Progam Manager Trend Asia, menanggapi kritis penggunaan serbuk kayu atau sawdust pada penggunaan PLTU di Kalsel.
“Pandangan kami dalam transisi energi implementasi Co-firing ini adalah solusi palsu,” tegasnya.
Amalya menyebut seharusnya transisi energi yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia adalah transisi energi yang bersih, terbarukan dan dan berkeadilan. Sementara implementasi Co-firing yang sebenarnya terealisasi 5 persen biomassa dan 95 persen batu bara itu juga menghasilkan emisi yang lebih besar.
“Juga bukannya kami sepakat jika pembakaran biomassanya 100 persen itu berarti bersih, nggak. Kita juga nggak mengamini itu,” ujarnya.
Dari hasil riset yang dilakukan Trend Asia, pembakaran biomassa dengan jumlah besar akan menghasilkan emisi yang lebih besar juga, pasalnya Co-firing 10% biomassa di 52 PLTU membutuhkan biomassa pelet kayu sebesar 10,23 juta ton per tahun. Pembukaan HTE untuk memenuhi kebutuhan biomassa ini bisa mendorong deforestasi.
“Kenapa kita melihatnya bisa mendrive deforestasi karena targetnya ESDM, dari 10 juta ton target itu 8 juta tonnya akan dipenuhi dengan Hutan Tanaman Energi (HTE). Sementara saat ini data 2022 terakhir baru 0,45 juta ton biomassa. Masih sangat jauh dari target,” sebutnya.
HTE di Indonesia sebagian besar masih digunakan untuk kebutuhan ekspor, deforestasi dikhawatirkan akan menjadi lebih besar lagi ketika dilakukan penanaman land clearing untuk keperluan HTE.
Upaya penghilangan hutan alam ini dikhawatirkan berdampak pada hilangnya juga sumber-sumber kehidupan masyarakat, fungsi hutan sebagai suplai air bersih dan pangan sekitar. Trend Asia berpendapat wilayah Kalimantan punya potensi sumber biomassa terbesar karena memiliki hutan alam yang masih banyak.
“Jika pemerintah memang serius ingin bertransisi ke energi bersih, mereka seharusnya menghentikan praktik Co-firing biomassa, termasuk menghentikan berbagai insentif untuk pembukaan THE,” tegasnya.
Baca juga: Sepanjang Tahun 2022 PLN Manfaatkan 173 Ribu Ton FABA
“Yang kami khawatirkan karena Co-firing ini adalah solusi palsu, solusi-solusi yang sebenarnya harus bersaing perkara insentif dengan implementasi co-firing. Karena insentifnya tidak cuma di hilir, namun juga di hulu karena kebutuhan biomassanya pasti akan menggunakan insentif juga karena harganya ekspor lebih besar,” jabarnya.
Solusi paling tepat adalah menghentikan proses pembangunan PLTU baru, menyegerakan pensiun dini PLTU yang sudah berjalan, serta mendorong pengembangan energi yang bukan hanya terbarukan, tetapi juga bersih seperti potensi energi surya dan angin.
“Kita harus melibatkan masyarakat secara aktif, apa potensi energi bersih yang ada disitu dalam mewujudkan kemandirian energi, harusnya seperti itu menurut kami,” katanya.
Amalya menambahkan klaim program Co-firing di PLTU yang membawa efek positif bagi perekonomian masyarakat sekitar itu menurut Trend Asia, hanya melibatkan masyarakat di rantaian produksi sebagai penyedia saja. Keterlibatan masyarakat di rantai produksi untuk keperluan PLTU itu dinilai bukan bagian dari ekonomi kerakyatan.
“Jadi dimana itu klaim ekonomi kerakyatannya itu, seharusnya masyarakat (di sekitar lokasi PLTU) berjaya juga. Klaim pertumbuhan ekonomi bukan hanya ada pada rantai penyedia doang, itu menurut kami klaim yang keliru juga,” tutupnya. (Kanalkalimantan.com/rdy)
CATATAN:
Seri liputan tentang Co-firing di PLTU Asam Asam di Kalsel ini hasil kerjasama antara Kanalkalimantan.com dengan dukungan dari program beasiswa transisi energi yang diselenggarakan oleh Clean Affordable and Secure Energy for Southeast Asia (CASE) – Institute for Essential Services Reform (IESR), IDCOMM, dan The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ).
Reporter : rdy
Editor : bie
-
HEADLINE3 hari yang lalu
UIN Antasari Banjarmasin Resmi Terakreditasi A
-
Kabupaten Banjar3 hari yang lalu
Lindungi Konsumen, Pelaku Usaha dan Masyarakat, DKUMPP Banjar Sosialisasikan Metrologi Lokal
-
Kota Banjarbaru3 hari yang lalu
Pj Wali Kota Sorong Pelajari MPP Banjarbaru
-
HEADLINE3 hari yang lalu
CEK FAKTA: Pernyataan Rahmadian Noor soal Terlambatnya Sebaran Pupuk dan Kontribusi Batola 20% terhadap Produksi Beras di Kalsel
-
HEADLINE2 hari yang lalu
Petani Sumardi Divonis Bersalah, Mahasiswa Unjuk Rasa di PN Martapura
-
HEADLINE3 hari yang lalu
KPK Panggil Ketua DPRD Kalsel Saksi Kasus Suap Proyek