Connect with us

HEADLINE

Drone Laut Diduga Milik China Menyerbu Indonesia, Ini yang Dicari

Diterbitkan

pada

Drone bawah laut atau glider dipamerkan dalam jumpa pers di Pushidrosal, Ancol, Jakarta, Senin (4/1/2021). [Antara/M Risyal Hidayat]

KANALKALIMANTAN.COM, JAKARTA – Kehebohan akibat penemuan drone bawah laut yang diduga milik China berlanjut pada pekan ini setelah Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal) Laksamana TNI Yudo Margono mengatakan drone bawah laut yang ditemukan nelayan di perairan Selayar, Sulawesi Selatan, merupakan seaglider untuk riset bawah laut.

“Alat ini seaglider, banyak untuk keperluan survei atau untuk mencari data oseanografi di laut, di bawah lautan,” kata Yudo dalam jumpa pers di Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI AL (Pushidrosal) di Jakarta Utara, Senin (4/1/2021).

Alih-alih membuat publik tenang, penjelasan Laksamana Yudo justru memantik banyak pertanyaan baru. Misalnya, siapa pemilik glider tersebut? Berapa banyak peranti asing sejenis di lautan Indonesia? Data apa yang dikumpulkannya? Kepada siapa data-data tersebut dikirimkan?

Sebelum AL memberikan penjelasan, beberapa pengamat militer sudah mengemukakan dugaan bahwa drone bawah laut yang ditemukan di perairan Selayar tersebut tak lain adalah peranti mata-mata China, Sea Wing UVV.

AL memang belum memastikan bahwa glider itu milik militer atau institusi Tiongkok. Yudo, dalam jumpa pers di Jakarta, mengatakan belum ada petunjuk untuk mengungkap pemilik drone tersebut.

Rahasia lautan Nusantara

Letkol Laut (KH) Dr. Gentio Harsono, dosen pada Universitas Pertahanan – dalam sebuah ulasannya di Antara – menjelaskan bahwa perairan Selayar dan Masalembo, tempat glider ditemukan, secara geografis sangat dekat dengan Selat Makassar.

Dalam ulasan bertajuk Darurat Glider Ilegal, Gentio juga menduga bahwa drone tersebut adalah milik Tiongkok. Dalam catatannya setidaknya sudah tiga kali glider serupa ditemukan di Indonesia: di Tanjung Pinang pada Maret 2019 dan di Masalembo – sebuah pulau antara Madura dan Kalimantan – Januari 2020.

Meski beberapa media menyebut bahwa penemuan drone yang mirip dengan di Selayar itu juga pernah terjadi di Kepulauan Riau sekitar Maret 2019.

Gentio secara khusus menyoroti Selat Makassar, yang berdekatan dengan Pulau Selayar dan Masalembo tempat drone-drone itu ditemukan.

“Selat ini merupakan salah satu air laut kepulauan Indonesia yang banyak dilewati kapal-kapal berbagai negara. Dalam kajian oseanografi, selat ini juga menjadi lintasan utama transpor massa air Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia yang dikenal dengan Arus Lintas Indonesia,” beber dia dalam ulasan yang ditayangkan 2 Januari kemarin.

Ia memberikan kiasan sebagai berikut:

Ini dapat dibayangkan ini sebuah sungai besar yang mengalirkan massa air antar samudera. Kira-kira di barat laut Makassar, terdapat punggung laut dikenal dengan nama Dewakang. Keberadaan punggung laut kedalaman 600-700 m ini menjadi penghalang pergerakan massa air berasal dari Samudera Pasifik yang menuju Laut Flores. Akibat gelombang pasang surut dalam kemudian mengintensifkan proses percampuran massa air di wilayah perairan ini.

Tempat ini juga berlangsung pertemuan massa air Samudera Pasifik yang berkarakter lebih asin dengan massa air Laut Jawa yang lebih tawar. Proses percampuran ini begitu dinamis dan menimbulkan pola percampuran yang komplek. Bahkan sejumlah peristiwa kecelakaan kapal yang pernah terjadi di Kawasan Segitiga Masalembu sering dikaitkan dengan teori ini.

Menurutnya proses rumit di selatan Selat Makassar itu merupakan sebuah rintangan alami bagi sistem navigasi kapal selam yang menggunakan sistem komunikasi gelombang akustik. Sistem komunikasi ini sangat sensitif dengan perubahan densitas air laut.

“Dalam fisika, densitas air laut tergantung oleh tekanan, temperatur dan kadar garam. Gelombang akustik yang menjadi andalan sistem deteksi dan navigasi kala selam ini di air laut bisa saja dibelokkan dalam jarak beberapa meter saja ketika densitas air laut berubah dengan cepat,” jelas Gentio.

Beberapa area bahkan tidak mampu dideteksi sonar yang dikenal dengan shadow zone. Zona ini bahkan dapat berpindah-pindah lokasi, tergantung dari kondisi atmosfir di atasnya.

“Informasi inilah yang paling dicari glider ini: tempat kapal selam dapat berlindung dari sonar lawan atau daerah persiapan dalam mengadakan serangan,” imbuh dia.

Ia melanjutkan bahwa kapal selam terkenal karena keunggulannya melancarkan serangan mendadak dan belum tergantikan. Bahkan hingga sekarang para pakar strategi perang masih menempatkan kapal selam dalam urutan bobot tertinggi saat menghitung kekuatan pertahanan suatu negara.

Berangkat dari analisis ini, Gentio kemudian menduga bahwa selat penting lainnya di Nusantara yang menjadi lintasan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)dan Arus Lintas Indonesia, seperti Selat Lombok dan Selat Ombai juga menjadi titik incaran glider asing.

“Alasan yang masuk akal mengingat selat penting ini juga sering dilewati armada kapal perang rivalnya,” tambah dia.

Australia terancam

Penemuan glider yang diduga punya China di Selayar ini jadi bahasan serius di Australia. Media negeri kangguru, ABC menulis bahwa perairan di selatan Sulawesi itu merupakan jalur menuju Australia.

Malcom Davis dari Institut Kebijakan Strategis Australia mengatakan glider itu ditemukan di rute maritim krusial, yang menghubungkan antara Laut China Selatan ke kota paling utara Australia, Darwin.

“Ini adalah sinyal bahwa angkatan laut China sedang bersiap untuk mengerahkan kapal-kapal selamnya mendekati lautan kita, mendekati utara Darwin dan karenanya kita harus bersiap untuk menghadapi peningkatan aktivitas kapal selam di pesisir utara Australia,” jelas Davis.

“Mereka ingin memahami kondisi oseanografi dan batimetri dari kawasan tersebut, itulah alasan glider-glider tersebut dikerahkan,” imbuh Davis.

Pada awal 2020, ABC juga pernah mewartakan tentang aktivitas sebuah kapal riset berteknologi tinggi China yang tertangkap basah sedang memetakan perairan strategis di sebelah barat Australia. Lokasi itu merupakan area yang ramai dilintasi kapal selam.

Australia, sekutu Amerika Serikat di Pasifik, memang dinilai sebagai ancaman terhadap ambisi dominasi China di timur. Australia merupakan salah satu kekuatan di Pasifik yang kerap menantang klaim Beijing atas Laut China Selatan.

Pada November 2020 kemarin, Australia, AS, India, dan Jepang menggelar latihan militer bersama di Teluk Malabar. Latihan tempur di laut ini sempat membuat Tiongkok berang.

Rahasia glider Tiongkok

Menurut Gentio, glider sekilas memang mirip roket, dilengkapi sirip di kanan kirinya, pada bagian ujungnya terdapat sensor perekam data elektronik, sementara bagian ekornya terdapat antena. Fungsi antena ini untuk mengirim data ke satelit, saat glider muncul ke permukaan.

Pergerakan glider adalah arah vertikal menggunakan sistem hidrolik umumnya pompa minyak yang dapat mengatur ruang udara sehingga mampu mengapung dan tenggelam. Karena dibekali sirip, maka saat tenggelam dan mengapung, glider ini akan bergerak ke depan.

Sementara baterai yang ada digunakan sebagai sumber energi saat glider mengirim data ke satelit.

Ini berbeda dengan drone yang pergerakannya oleh baterai yang dibawanya. Saat posisi mengapung, glider memancarkan data ke satelit penerima seperti posisi, parameter insitu seperti arah dan kecepatan arus, temperatur, kadar garam, tekanan, kandungan oksigen, visibilitas pada level kedalaman tertentu.

Memanfaatkan gravitasi, glider akan tenggelam perlahan merekam profil data hingga kedalaman yang diinginkan dan selanjutnya bergerak ke atas hingga timbul ke permukaan, sekali lagi glider memancarkan data yang sudah direkam dan begitu seterusnya.

Dengan sumber tenaga baterai kering, glider dapat bertahan hingga dua tahun.

HI Sutton – analis sistem persenjataan bawah laut – dalam artikelnya di Forbes pada Maret 2020 lalu menjelaskan bahwa Sea Wing UVV kemungkinan dikembangkan Tiongkok sejak 2016 lalu.

Meski demikian desain dan teknologinya sangat mirip dengan Littoral Battlespace Sensing-Glider (LBS-G) milik Angkatan Laut Amerika Serikat.

Angkatan Laut China pernah merampas sebuah LBS-G milik militer AS di Laut China Selatan pada Desember 2016 dan mengembalikannya, setelah diprotes oleh Washington. Diduga ketika itulah Tiongkok menyontek glider AS tersebut.(Suara)

Editor : Suara 


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->