Connect with us

HEADLINE

Kampung Kiyu, Desa di Kaki Meratus yang Tegak Lawan Tambang demi Budaya dan Adat

Diterbitkan

pada

Suasana Kampung Kiyu yang masih asri. Foto : mario

BARABAI, Suara penolakan terhadap tambang di Kabupaten Hulu Sungai Timur (HST) menjadi isu nasional yang terus bergulir ditengah nasfu pengusaha menancapkan ‘tangan-tangan besi’ alat berat di kawasan pengunungan Meratus. Perjuangan tidak hanya dari luar arena konflik tambang, yang dimotori sejumlah aktivis dan pemerhati lingkungan seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), tapi perlawanan juga terus mengakar di salah satu jantung di daerah tersebut. Adalah Kampung Kiyu, desa di kaki Meratus yang sampai kini terus tegak melawan tambang demi budaya dan adat leluhur!

Dingin. Udara pagi Kampung Kiyu, Desa Hinas Kiri, terasa menusuk kulit. Kondisi ini tentu merupakan hal biasa bagi warga desa, yang bertempat di Kecamatan Batang Alai Timur, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST). Sebuah wilayah yang berada di kaki Pegunungan Meratus. Wilayah di mana para pendaki gunung memulai langkah awal untuk menaiki puncak gunung tertinggi di Kalsel, Puncak Halau-halau.

Mendengar kata Meratus, tentu gaung tagar #SaveMeratus hingga aksi penolakan dari ragam pihak sudah ramai mewarnai media massa beberapa tahun terakhir. Sudah diketahui tentunya pegunungan Meratus merupakan rimba terakhir yang masih perawan dari tangan-tangan para penambang yang haus mengeruk isi bumi.

Bagaimana tidak. HST merupakan satu-satunya ‘atap alam’ terakhir di Kalsel yang masih bersih dari para penambang. Hingga akhirnya, 4 Desember 2017 Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral menekan surat izin menambang batu bara untuk Mantimin Coal Mining (MCM) di kawasan  pegunungan Meratus, HST, tepatnya di Blok Batu Tangga yang tercakup dari Desa Batu Tangga, Nateh, dan Pembakulan di Kecamatan Batang Alai Timur.

Balai Adat . Foto : mario

Meski sudah mendapat izin, perusahaan asal India ini masih belum bisa beroperasi akibat Amdal yang tertahan di pemerintah daerah. Jika penambangan dilakukan, habislah sudah kehidupan yang berada di kaki-kaki gunung yang membentang sejauh 600 kilometer persegi ini. Pegunungan ini terbentang dari Kabupten Banjar, Tapin, Hulu Sungai Tengah (HST), Hulu Sungai Selatan (HSS), Balangan, Tabalong, Kotabaru, dan Tanah Laut.

Bersama Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), jurnalis Kanalkalimantan.com, Mario Christian Sumampow, mengunjungi beberapa titik desa yang berada di kaki Meratus. Mulai Kampung Kiyu yang merupakan bagian dari Desa Hinas Kiri dan Desa Nateh. Ditemani salah seorang anggota Walhi, M Jefry Raharja (Cecep), kami menempuh jarak 148,2 KM dari Banjarmasin ke Barabai, perjalanan pun dimulai Senin (21/10) siang.

Sampai Barabai, kendaraan yang kami tumpangi menelusuri sekitar kurang kebih satu jam perjalanan untuk bisa tiba di Kampung Kiyu. Kampung Kiyu berjarak kurang lebih setengah jam perjalanan dari Desa Nateh. Sebelum menjelajah Nateh, perjalanan kami mulai dari Kiyu.

Kepala Adat Desa Hinas Kiri Haris. Foto : mario

Malam sudah menyapa. Kami menginap di sebuah rumah milik seorang pemuda yang tengah menempuh belajar di salah satu universitas di Banjarbaru. Uncit, orang memanggilnya. Usai bertemu dan mengobrol dengan kedua orang tua Uncit, ditemani Cecep kami menyempatkan untuk melihat suasana Kampung Kiyu di malam hari sembari bertemu dengan warga kampung lainnya dan tokoh masyarakat.

“Ayo kalau mau keliling-keliling sebentar,” Cecep menawari.

Waktu menunjukkan sekitar pukul 23.00 Wita. Namun saat itu masih banyak warga kampung yang masih terjaga dan mengobrol di beranda rumah. Para warga masih bangun karena mereka baru saja menyambut kedatangan para Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) se-Indonesia yang tengah melakukan kegiatan Temu Wicara Kenal Medan (TWKM) ke XXXI.

Perlu diketahui, TWKM ini diselenggarakan selama tiga hari di Banjarmasin dan berfokus di HST. Kegiatan ini mengekspose bagaimana upaya masyarakat di Kalsel menyelamatkan pegunungan Meratus dari ancaman pertambangan.

Baca: Melawan dari ‘Jantung’ Meratus, Kisah Kampung Kiyu Menolak Kungkungan Tambang (1)

Baca: Melawan dari ‘Jantung’ Meratus, Kisah Kampung Kiyu Menolak Kungkungan Tambang (2)

Baca: Melawan dari ‘Jantung’ Meratus, Kisah Kampung Kiyu Menolak Kungkungan Tambang (3)

Usai bertegur sapa, waktu memaksa kami untuk beristirahat. Badan yang lelah tak bisa diajak kompromi. Di ruang tengah rumah Uncit yang mampu menampung hingga 10 orang lebih, kami bersama dengan beberapa Mapala melepas penat ditemani suara hewan-hewan malam kampung Kiyu.

Perjalanan Mendaki

Kehadiran anggota Mapala menjadikan suasana desa menjadi ramai. Pagi yang menyingsing digunakan anak-anak Mapala untuk melakukan persiapan. Rencananya, keberangkatan mereka pada Selasa (22/10) , akan dilepas oleh Haris selaku Kepala Adat Desa Hinas Kiri, Mastur (Pembakal Desa Hinas Kiri), Makurban (Kepala Adat Balai Desa Kiyu) Bupati HST Drs H A Chairansyah, dan perwakilan dari anggota DPRD HST.

Namun hingga saat pelepasan tiba, tak ada telihat sedikit pun batang hidung salah satu anggota DPRD yang datang. Chairansyah pun tidak datang. Ia diwakilkan oleh Kepala Dinas Lingkungan Hidup HST, Muhammad Yani. Sedikit dijelaskan oleh Muhammad Yani, bahwa Chairansyah tengah berada di Banjarmasin untuk sebuah agenda pertemuan.

Sebelum berangkat, di bawah bambu-bambu yang dibuat sedemikian rupa menyerupai lorong berbentuk segitiga para mahasiswa menerima sambutan dan nasihat dari tokoh Kepala Ada Desa Hinas Kiri, Haris. Ia mengatakan agar para pendaki ini dapat saling menjaga alam dan sesama ketika mulai mendaki satu-satunya pegunungan di Kalsel yang hutannya masih utuh.

TWKM ini ujar Haris, merupakan salah satu langkah dalam hal partisipasi masyarakat dalam melindungi satu-satunya hutan yang masih perawan di Kalsel ini. Melindungi Meratus tidak hanya menjaga agar Meratus tidak terjangkau oleh izin tambang, melainkan juga menjadi langkah dalam melindungi masyarakat Adat Dayak Meratus, yaitu Dayak Balian yang kehidupan dan prosesi adatnya tidak lepas dari pegunungan Meratus.

Kedatangan para Mapala dalam acara TWKM. Foto : mario

“Apabila hutannya sudah rusak, adatnya pun juga rusak,” tutur Haris.

Pun juga air, merupakan sumber daya alam yang dirasa Yani sangat penting. Jika hutan rusak, air tercemar, tentu akan berdampak besar. Mengingat di pegunungan meratus ada banyak perairan yang menjadi sumber untuk irigasi pertanian, perikanan, hingga sumber air minum. Juga flora dan fauna pasti mengikuti jurang kepunahan.

Sebab dijelaskan oleh Haris, bantaran sungai seperti sungai Barabai, Sungai Batang Alai, Sungai Sampanahan, Sungai Amandit, bersumber dari satu aliran sungai dari pegunungan Halau-halau.

Sementara Kadis LH HST, Muhammad Yani, mengatakan dengan adanya TWKM ini dapat lebih menyebarluaskan lagi gaung #Save Meratus. Sehingga isu Meratus ini bisa menjadi isu nasional bahkan internasional.

Dalam kegiatan pelaksanaan pelepasan juga ditampilakan tiga jenis tarian adat ciri khas Dayak Balian Meratus yang dibawakan oleh pemuda-pemudi Kampung Kiyu, yaitu: Tari Bakanjar, Tari Bebangsai, dan Tari Capung.

Spirit Penolakan Tambang dan Adat Leluhur

Usai menyaksikan pelepasan TWKM, kami pun berkesempatan untuk berbincang dengan salah seorang tokoh adat Kampung Kiyu, Julak Maribut. Julak merupakan sebuah status yang melekat untuk kakak yang paling tua. Bisa juga orang yang dipanggil Julak merupakan seseorang yang mempunyai peran penting dan dihormati baik di dalam tatanan keluarga maupun tatanan masyarakat.

Julak Maribut sudah genap berusia seratus di tahun 2019 ini. Namun, ia masih tampak sehat. Menyenangkan untuk diajak mengobrol. Bahkan saat menceritakan pengalaman masa lalunya, ingatannya masih bisa diandalakan. Sehari-hari Julak Maribut berkebun, terkadang pergi ke hutan untuk memanen hasil alam, juga menyadap pohon karet. Sembari menghisap rokoknya, pria tua ini menyambut baik ajakan kami untuk berbagi cerita.

Data Kampung Kiyu
Penduduk: 56 KK (RT 05 dan RT 06)
Jumlah warga: Sekitar 300 Jiwa, jika digabung dengan jumlah penduduk Desa Hinas Kiri mencapai 700 jiwa.
Kecamatan: Batang Alai Timur, HST
Pekerjaan : Berkebun

Ia memulai kisahnya mundur jauh ke tahun 1984. Kala itu sebuah perusahaan kayu bernama PT Daya Sakti yang mencoba untuk masuk dan menjalankan perusahaannya. Sontak hal ini membuat Julak Maribut dan warga lainnya langsung meminta agar pemerintah HST segera mencabut izin tersebut. Bahkan Julak Maribut mengatakan bahwa mereka akan ‘menyumpit’ semua pihak yang menolak mengabulkan permintaan mereka. Perlu waktu tiga bulan hingga akhirnya izin tersebut dicabut, cerita Julak Maribut.

Tokoh Adat Dayak Meratus Julak Maribut. Foto : mario

“Jika Bupati tidak mencabut, kami tidak menjamin keselamatan,” cerita Julak Maribut.

Dengan lantang ia menceritakan dan menyampaikan isi kepalanya bahwa hutan milik mereka tidak bisa dirusak. Bagi siapa saja yang merusak hutan tersebut, Julak Maribut mengatakan bahwa keselamatan dari si perusak hutan itu tidak akan terjamin aman.

Pernah juga di kisaran tahun 90-an ada orang yang mengaku-ngaku sebagai suruhan dari Raden Ayu Siti Hartinah, atau lebih dikenal sebagai Tien Soeharto, istri Presiden Soeharto. Ia bersikukuh, sebagai arahan Tien Soharto untuk membangun sebuah perusahaan di wilayah Meratus.

Kemudian Julak Maribut dan warga kampung meminta orang yang mengaku-ngaku tersebut untuk membuktikan omongannya. Hingga kemudian kabar ini terdengar oleh Tien Soeharto. Ia menyatakan bahwa orang tersebut sama sekali bukan suruhannya.

Tak hanya itu, Julak Maribut nampak menyimpan segudang cerita di kepalanya. Ia juga bercerita bahwa ada pernah pada suatu masa pihak kehutanan dari Banjarbaru datang untuk mematok sebuah tugu sebagai tanda batas administratif. Pun mereka langsung dapat penolakan dari Julak Maribut. Ia mengancam bersama bahwa mereka tidak segan-segan memukuli orang tersebut jika masih berani memasang patok tersebut. Kemudian pemasangan patok itu pun tidak terjadi.

Julak Maribut sendiri paham betul jika izin tambang tetap diberikan, tidak hanya kampung Kiyu, tapi seluruh wilayah di Kalsel akan terkena dari dampak bencana ekologi. “Kandangan, Rantau, Tanjung, habis,” tuturnya.

Bahkan dampak ini akan terasa lebih besar bagi warga Dayak Meratus. Mereka tidak bisa meneruskan budaya. Salah satu budaya Dayak Meratus yang begitu penting adalah Ritual Aruh Adat.

Ritual ini adalah upacara untuk  mengungkapkan rasa terima kasih kepada Yang Maha Kuasa atas penganugerahan hasil panen padi ladang yang melimpah, dan sekaligus penghormatan terhadap arwah para leluhur yang diyakini senantiasa melindungi mereka dari malapetaka. Dalam perkembangan selanjutnya, upacara adat ini juga digunakan untuk merayakan keberhasilan usaha lainnya, seperti berdagang, beternak, melaut, dan lain sebagainya.

Proses berkebun Dayak Meratus pun tidak lepas dari ritual. Dengan wajah serius Julak Maribut menerangkan tahap-tahap sebelum mereka bisa melakukan proses berkebun. Ada doa-doa khusus yang mereka ucapakan untuk memohon izin kepada, Julak Maribut menyebutnya “yang tak terlihat”. Permohonan ini merupakan sebuah izin kepada yang maha kuasa ihwal dibolehkan atau tidaknya mereka bercocok tanam di sebuah lahan yang mereka inginkan. Jawabnya akan mereka terima lewat mimpi.

Jika diperbolehkan, masyarakat langsung bercocok tanam di lahan yang diperbolehkan itu. Namun jika tidak, mereka harus mencari lahan yang lain. Jika ada masyarakat yang bersikukuh bercocok tanam di lahan yang dilarang, maka orang itu akan menerima ganjaran seperti sakit bahkan hingga kematian.

Hal inilah yang Dayak Meratus pertahankan. Jika proses penambangan dilakukan, alam akan rusak, masyarakat tidak bisa berkebun akibat lahan yang rusak, dan tentunya ritual tidak bisa dilakukan ritual. Kemudian budaya Dayak Meratus perlahan-lahan hilang menuju kepunahan.

“Jadi kalau membuka lahan tidak sembarangan. Kami memohon kepada yang kuasa, yang mengadakan bumi dan langit, tidak sembarangan,” tutur Julak Maribut. (mario)

Reporter : Mario
Editor : Chell

 


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->