Connect with us

Manaqib

KH Ahmad Hudari, Takdir Mengiringnya Jadi Seorang Pengajar


Pernah mencoba meniti karier menjadi pengusaha, Guru Hudari malah dihadang masalah pelik. Setelah menemukan jalan keluar, beliau pun pulang ke kampung halaman, merajut kembali penghambaan yang sempat terabaikan.


Diterbitkan

pada

KH Ahmad Hudari. Foto : net

KH Ahmad Hudari atau yang akrab disapa dengan Guru Hudari, dilahirkan di Martapura 8 April 1937 silam. Ayah beliau bernama Ali Tuah, dan ibu bernama Husnah. Dari garis ibunya, Guru Hudari merupakan keturunan ke-6 dari Datu Kalampayan. Yakni, Husnah binti Syekh Abdullah Khatib bin Syekh Muhammad Shaleh bin Syekh Hasanuddin bin Syekh M Arsyad al Banjari (Datu Kelampayan). Dengan demikian, Guru Hudari juga terkait satu keturunan dengan Syekh M Zaini bin Abdul Ghani, yakni pada Syekh Hasanuddin.

“Kalau dengan Guru Zaini, memang satu keturunan (terkait di Syekh Hasanuddin). Meski hitungannya, Guru Zaini keponakanku. Beliau sering memanggilku dengan ‘Suanang Hudari’. Tapi, orang itu hebat (Guru Zaini), ayah dan ibu sama-sama keturunan Datu Kelampayan. Kalau aku, hanya dari pihak ibu,” jelas Guru Hudari.

Di masa kecilnya, Guru Hudari pernah menempuh pendidikan di sekolah Belanda (Volksch School) selama 3 tahun. Mestinya, beliau melanjutkan pendidikan formal ke sekolah Benteng. Namun, beliau lebih memilih pendidikan Agama, yakni ke Pondok Pesantren Darussalam, Martapura yang pada waktu itu dipimpin KH Kasyful Anwar al Banjary.

Sekitar 10 tahun menjadi santri di Darussalam, Guru Hudari kemudian lulus pada tahun 1959. Setelah kelulusan, beliau dipercayakan untuk membantu mengajar di Pondok Pesantren Darussalam, dengan mengajar di tingkat tahdiri.

“Mungkin kalau sekarang sama dengan kelas nol,” ujar Guru Hudari.

Di masa lalu, jenjang pendidikan di Darussalam berbeda dengan jenjang atau tingkatan yang ada sekarang. Dulu, Darussalam terdiri dari Tahdiri, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah. Tahdiri ada 3 kelas, ibtidaiyah 3 kelas, Tsanawiyah 3 kelas, dan Aliyah 1 kelas.

“Satu kelas aliyah dulu, sama dengan tiga kelas aliyah sekarang,” kata Guru Hudari.

Kurang lebih 18 tahun menjadi pengajar di Darussalam, Guru Hudari juga memberi andil besar dalam dunia dakwah, khususnya di Martapura dan sekitarnya. Sebab, beliau juga tercatat menggelar majelis taklim di rumah dan di Makam Syekh M Arsyad al Banjary.

“Kalau yang di Makam Datu Kelampayan, itu bersama dengan Guru Masdar Sungai Tuan,” tutur Guru Hudari.


Laman: 1 2

iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->