Connect with us

Manaqib

Kisah Kiai Idham Chalid dan Mobil Barunya

Diterbitkan

pada

Kyai Idham Chalid bersama koleganya. Foto: net

Menjadi seorang pejabat setingkat anggota DPR RI memang menuntut mobilitas yang tinggi. Apalagi juga merangkap menjadi pengurus elit PBNU. Alat transportasi menjadi instrumen penting untuk mendukung kesibukan tersebut. Tetapi, di tahun 1950-an menjadi anggota DPR tak seperti saat ini. Kendaraan dinas tak ada dan alat transportasi umum pun tak banyak. Sedangkan untuk memiliki mobil sendiri, meski hanya mobil tua, sangat sulit. Gaji tak cukup untuk membelinya.

Keadaan seperti itu dialami pula oleh anggota DPR dari Partai NU. Dari delapan orang anggota DPR dari NU (1952-1955), hanya dua orang yang punya mobil pribadi, yaitu AS Bachmid dan AA Achsien. Itu pun mobil tua yang kerap kali mogok saat ditumpangi.

Untuk itu, Kiai Idham yang saat itu menjadi Ketua Lapunu (Lembaga Pemilihan Umum NU) menginginkan sebuah mobil. Ia memerlukannya untuk menunjang aktivitasnya yang sangat sibuk menjelang pemilu 1955. NU yang baru saja menjadi partai harus mempersiapkan segalanya dengan baik.

Ketika itu, Kiai Idham mendapat kiriman uang dari kampung halamannya. Uang tersebut, lantas dibelikan sebuah mobil dengan merk “Hilman” berwarna hijau tua. Ia membelinya dengan harga Rp 18.000. Bukan mobil baru, tapi performanya masih sangat baik.

Mobil baru Kiai Idham itu dibawanya ke gedung parlemen. Ia mengabarkan hal tersebut kepada Kiai Saifuddin Zuhri, salah seorang anggota parlemen dari NU. Ia menunjukkan mobil barunya yang terparkir di bawah pohon beringin. Ia pun turut senang dengan mobil baru kawan seperjuangannya tersebut.

Sepulang dari gedung parlemen, Kiai Saifuddin berniat untuk menebeng mobil Kiai Idham. Tak lupa ia juga mengajak koleganya sesama anggota DPR dari NU, Kiai Ilyas. Ketiganya pun naik mobil berukuran kecil dengan empat tempat duduk itu.

Saat mobil mulai dinyalakan, Kiai Idham mulai memegang kemudi, ketidakberesan mulai terasa. Bukan mesin mobilnya yang tak beres, tapi sopirnya. Kiai Idham masih belum lancar mengemudi. Maklum, ia masih baru memiliki kendaraan roda empat itu.

Mobil yang dikendarai tersebut mulai keluar dari gedung parlemen menuju Jalan Pejambon. Jalannya tak lurus, tidak stabil. Pedal rem sering diinjak tiba-tiba, lalu disusul tancap gas tak kepalang tanggung. Bahkan, saat mendekati Stasiun Gambir mobilnya nyaris menyenggol pengendara sepeda.

Saat itu, sebagaimana kesaksian Kiai Saifuddin dalam buku Guruku Orang-Orang dari Pesantren, Kiai Ilyas yang duduk di sebelah sang sopir berteriak keras. Tak lama kemudian, ia meminta untuk turun.

“Ya akhi, kalau ada orang jual rokok di depan itu, berhenti!” seru Kiai Ilyas pada sang sopir.

Di depan penjual rokok itu, Kiai Idham menghentikan mobilnya. Kiai Ilyas turun. Bukannya membeli rokok sebagaimana anggapan si sopir dan penumpang lainnya, Kiai Ilyas malah ngelonyor. Ia mempercepat jalannya di atas trotoar.

“Mengapa? Hayo naiklah!” seru Kiai Saifuddin.

“Terima kasih! Jalan kaki lebih aman…!” jawab Kiai Ilyas.

Mendengar jawaban dari kawannya tersebut, Kiai Idham pun jengkel. Ia pun berteriak balik kepada Kiai Ilyas yang bergegas menuju arah Prapatan itu, “Penakut….!”

Kiai Ilyas tak peduli. Ia tetap bergegas. Kiai Saifuddin sebenarnya juga merasa takut dengan gaya menyetir Kiai Idham yang baru bisa itu. Tapi tak enak hati untuk ikut turun. Ia pun pindah ke depan menggantikan tempat yang ditinggal Kiai Ilyas. Kemudian perjalanan pun dilanjutkan dengan perasaan berdebar-debar.

Meski sampai di tujuan dengan selamat, namun membuat Kiai Saifuddin tak nyaman. Ia harus menahan pening di kepalanya karena gaya ugal-ugalan si sopir baru. Ia pun tak henti-hentinya merapal shalawat memohon perlindungan dan keselamatan kepada Allah SWT.

Begitulah risikonya nebeng. Jangan hanya memperhatikan mobilnya, tapi juga sopirnya jika tak ingin dibuat pening dan kalang kabut. (Sumber: Ayung N/NUonline)

Reporter: Sumber: Ayung N/Nuonline
Editor: Chell


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->