Connect with us

MISBACH TAMRIN 1965

Kisah Perjalanan Sang Maestro, 13 Tahun Ditahan Tanpa Diadili (Bagian 2)


Misbach Tamrin: Dalam Bayang Seni Rupa Indonesia


Diterbitkan

pada

Misbach Tamrin sedang melukis Fadli Zon. Foto: koleksi pribadi misbach tamrin

KANALKALIMANTAN.COM, BANJARMASIN – Lelaki berdagu lancip, berperawakan kurus dengan tinggi badan sekitar 170 centimeter itu tidak terkesan seperti orang tua pikun, gaya bicaranya masih terdengar tegas dan teratur. Dia bercerita panjang lebar tentang kisah hidup semasa kanak-kanak, remaja, hingga sekarang, begitu Focus Group Discussion (FGD) benar-benar dimulai.

*

Judul lukisan Potret Diri (Misbach Tamrin), dibuat di media dengan acrylic canvas dengan ukuran 100 cm x 90 cm. Tahun pembuatan 2023. Foto: koleksi pribadi misbach tamrin

Misbach Tamrin, anak ke empat dari delapan bersaudara. Menghirup udara dunia pada pada 25 Agustus 1941 di Kebun Sari, sebuah distrik waktu itu di kawasan pedalaman hutan Kalimantan.  “Saya lahir di daerah Kalsel, yaitu kota Amuntai, saat ini Kabupaten Hulu Sungai Utara, pada 82 tahun yang lalu,” akunya.

Dia berucap, sejak kanak-kanak sudah pindah ke Murung Pudak sebuah kecamatan di Kabupaten Tabalong, mengikuti jejak orangtuanya yang kala itu bekerja sebagai sopir di perusahaan minyak zaman Belanda.

Menerawang bakat menggambar, dia ingat karya pertamanya berjudul “Pemburu Menembak Kijang” pernah meraih nilai 10, sewaktu duduk di bangku kelas empat SR (Sekolah Rakyat). Nilai sempurna yang jarang didapat teman sebayanya. Dan, lukisan berjudul “Cita-citaku” meraih juara pertama pada lomba lukis tingkat SMP se Kabupaten Tabalong.

Kelas dua SMP hingga lulus SMA, Misbach Tamrin dititipkan kepada pamannya karena faktor ekonomi, dia bersekolah di Kota Banjarmasin. Prestasi semasa mengenyam pendidikan menengah atas dua kali meraih juara menggambar. Kebanyakan karya figur manusia.

Prestasi demi prestasi itu, lantas membuat dia dikenal sebagai pelukis muda di kalangan seniman dan peminat seni di Kota Banjarmasin. “Artinya pengalaman saya melukis seni rupa itu sudah sejak 1958,” kata pria yang rambutnya sudah digerogoti uban tersebut.

Mengenang masa muda, Misbach berkali-kali menyebut nama Gusti Solihin, guru kursus melukis di luar sekolah. Dia begitu menghormati orang itu sebagai pelukis nasional yang malang melintang memacu karir kesenian di Pulau Jawa dan Bali. Solihin, menunjuk Misbach menjadi ketua di Sanggar Tunas Pelukis Muda, organisasi seni rupa pertama di Kalimantan Selatan (Kalsel). “Ketuanya itu saya sendiri sekitar umur 19 tahun,” ujarnya.

Kurang lebih dua tahun di Banjarmasin setelah menggalang potensi pelukis muda di Kalsel, sembari menunggu proyek pemerintah daerah yang tak kunjung ada kepastian, Solihin kembali ke Yogyakarta. Kemudian ke Bali, Solihin meninggal dunia pada tahun 1961, usia 35 tahun, tanpa sempat menemukan pasangan hidup.

Misbach lulus SMA terus serius belajar melukis, hingga akhirnya pada 1959 dia menginjakan kaki di Yogyakarta. Kuliah di Akademisi Seni Rupa Indonesia (ASRI) mengambil Jurusan Guru Menggambar.

Tahun-tahun pertama kuliah di perantauan, dia banyak bergaul dan berinteraksi dengan orang-orang terkenal di bidang seni, mendatangi sanggar-sanggar, dan belajar bersama para mahasiswa ASRI.

Saat itu, dalam waktu singkat, dia aktif berorganisasi, bergabung di Ikatan Mahasiswa Asri (IMASRI), lalu ditunjuk sebagai wakil ketua. Dia juga terpilih menjadi sekretaris di organisasi Badan Koordinasi Kesenian Mahasiswa Indonesia (BKSKMI) yang merupakan perhimpunan kampus-kampus di Jogja.

“Dalam setahun di IMASRI saya diangkat sebagai wakil ketuanya. Setengah tahun kemudian diangkat lagi menjadi BKSKMI, itu perkembangan karir saya, yang kemudian menyelenggarakan Pekan Kesenian Mahasiswa di Denpasar,” ujar Misbach.

Kesibukan demi kesibukan berorganisasi, baik di ASRI atau BKSKMI menuntut Misbach aktif dan sering bepergian ke luar daerah mengikuti pertemuan, melakukan seleksi, menggelar pameran dan pertunjukan, hingga mengerjakan order. Belum lagi aktivitasnya sebagai pemimpin redaksi Majalah Akademia milik ASRI, membuat kuliah jadi terbengkalai.

Susah membagi waktu, antara berorganisasi dan kuliah, dia memutuskan untuk tidak bergabung dengan satu kelompok apapun lagi, alias hanya menjadi mahasiswa dan aktivis bebas yang tidak terikat. Kemudian dia pindah jurusan kuliah, ke Seni Lukis dan Patung.

Pada 1961, Misbach diajak mendirikan perkumpulan seni Sanggar Bumi Tarung atau SBT, bersama Isa Hasanda, Ng Sembiring, Kuslan Budiman, Djoko Pekik, Sutopo, Andrianus Gumelar, Sabri Djamal, Suharjdija Pudjanadi, Hermani, Harjatno dan kawan-kawan, didapuk Amrus Natalsya sebagai ketua.

Organisasi SBT menggunakan standar kerja dan estetika teori 1-5-1, yang digagas Lembaga Kebudayaan Rakyat alias Lekra, sebuah organisasi kebudayaan yang berafiliasi di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI).

Teori 1-5-1 itu jika diuraikan (1) pertama menegaskan bahwa politik adalah panglima. Dengan begitu, kesenian apapun bentuknya harus mengikuti jalan kebenaran politik pada suatu masa.

Angka (5) adalah kombinasi kerja kesenian yang harus dilakoni. Seperti memadukan kreativitas individu dengan kearifan massa. Mengelola kesenian dengan gerak yang meluas dan meninggi. Menyebarkan karya seni dengan ekspansi yang melebar dan melambar. Memelihara mutu tinggi seni dengan tetap mengusung ideologi politik bangsa pada suatu masa. Dan, memadukan realisme revolusioner dengan romantisme revolusioner di dalam karya seni.

Sedangkan angka (1) terakhir adalah Turba atau turun ke bawah yang artinya mendekatkan proses penciptaan kepada ilham-ilham yang datang dari rakyat jelata, dan memperhatikan spirit dan konten hasil kesenian untuk kepentingan rakyat bawah.

Dalam sejumlah catatan, menurut Joebar Ajoeb (2004), Sekretaris Umum Lekra, pada 1964, pernah ada gagasan dari Pimpinan PKI yang disampaikan kepada pimpinan Lekra agar Lekra menjadi bagian dari organisasi PKI. Lekra menolak dengan alasan menghindari manipulasi politik dan yang terpenting adalah tidak semua anggota Lekra adalah anggota PKI. Dengan demikian maka Lekra bukanlah dan tidak pernah menjadi PKI.

Walaupun tidak dapat dibantah jika anggota Lekra memiliki kecenderungan dan simpati serta banyak melakukan kerjasama dengan PKI baik di pusat dan daerah. Kenyataan ini menunjukan hubungan antara Lekra dan PKI tidak bisa didefinisikan dirumuskan secara umum karena sifatnya yang sangat rumit.

Saat Misbach berkecimpung dalam organisasi SBT, kariernya sebagai seniman dan aktivis terus meningkat. Dia beberapa kali terlibat dalam pameran yang diadakan oleh SBT, beberapa karyanya juga terjual di sana. Karena SBT menyatakan sebagian organ dari organisasi kebudayaan Lekra, maka dengan sendirinya Misbach pun aktif bahkan menjadi pengurus Lekra di bagian Seni Rupa.

Bak sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, antara kuliah, berkesenian dan politik, sekitar 1963 Misbach menyelesaikan sarjana mudanya di ASRI. Dia dan teman-temannya waktu itu sering bolak balik Yogyakarta dan Jakarta. Sebagian anggota SBT, di Jakarta Misbach dan kawan-kawan banyak mendapat orderan dari Panitia Negara untuk melukis potret tamu-tamu internasional.

Dan pada sekitar triwulan pertama 1964, dia satu-satunya anggota SBT yang diminta langsung oleh Lekra pusat untuk mengikuti pendidikan selama enam bulan. Misbach diproyeksikan menjadi pemimpin Lekra. Teman-temannya menyebut itu adalah TC, atau sekolah maupun kursus. Kegiatan diikuti oleh berbagai kalangan seperti budayawan atau seniman, buruh, petani, dosen dan lainnya.

Pendidikan dirancang mengajari para calon pemimpin PKI di berbagai daerah. Dengan keikutsertaan Misbach dalam kegiatan itu, lantas membuatnya otomatis masuk dan bergabung dengan PKI. Setelah pendidikan itu di pengujung 1964 dia kembali ke ibu kota Kalimantan Selatan untuk mendirikan Lekra sekaligus sebagai ketua di tingkat provinsi. Di Banjarmasin Misbach dan kawan-kawan mendirikan koran Gelora Trisakti, ada kemingkinan merupakan satu-satunya koran berhaluan kiri pada masa waktu itu, terbit selama setengah tahun.

Penting diketahui, sebenarnya pada 1954 di daerah itu sudah ada cabang Lekra, tetapi entah kenapa organisasi kebudayaan itu tidak berkembang dan menghilang begitu saja.

Setengah tahun di Banjarmasin, Misbach berencana mendirikan cabang Lekra di tanah kelahirannya di Hulu Sungai Utara (HSU). Dia mengajukan nama pamannya, seorang seniman dan pelukis sebagai Ketua Lekra Amuntai kala waktu itu masih masuk di wilayah HSU.

Cabang Lekra Amuntai itu baru pada tahap penjajakan, pecahlah peristiwa 1965. Indonesia diguncang oleh serangkaian kejadian yang dikenal sebagai Gerakan 30 September (G30S). Kelompok yang mengklaim sebagai G30S melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap enam jenderal tinggi Angkatan Darat serta seorang perwira menengah.

Para korban termasuk Letnan Jenderal Ahmad Yani dan Mayor Jenderal MT Haryono. Mayor Jenderal Soeharto segera bergerak untuk mengambil alih situasi, menuduh PKI sebagai dalang di balik gerakan makar kudeta itu.

Setelah itu, terjadi pembersihan besar-besaran terhadap anggota dan simpatisan PKI termasuk organisasi Lekra hingga ke seluruh daerah, salah satunya Kalimantan Selatan. Peristiwa ini menandai awal dari gulingnya kekuasaan Presiden Soekarno dan naiknya Soeharto sebagai Presiden, memulai era Orde Baru yang berlangsung hingga tahun 1998.

Misbach, paman dan, beberapa kawannya langsung terimbas pasca peristiwa 1965 itu. Ada yang langsung ditangkap di rumah, ada yang bersembunyi dan kabur seperti ke pegunungan hutan Meratus, sebelum akhirnya ditahan dan tanpa diadili di pengadilan dengan masa tahanan yang bervariasi. Termasuk Misbach Tamrin yang ditahan selama 13 tahun. (Kanalkalimantan.com/rendy tisna)

 

Catatan: Artikel di atas adalah bagian ke tiga dari Kumpulan tulisan Misbach Tamrin: Dalam Bayang Seni Rupa Indonesia.

Reporter: rendy tisna
Editor: bie


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->