Sejarah
Menguak Sepak Terjang PKI di Kalimantan Selatan (1)
Peristiwa Tiga Selatan dan Murka Soekarno Atas Langkah Hasan Basry Menolak Nasakom!
KANALKALIMANTAN.COM, BANJARBARU – Setiap akhir September, kisah mengenai tragedi 1965 tak pernah absen menghampiri publik.
Selalu saja ada tokoh, yang memantik diskursus mengenai kisah yang tak bisa dilupakan sebagai salah satu sejarah paling kelam di Republik Indonesia.
Kisah yang melatari tragedi 1965 yang tak bisa dilepaskan dari keberadaan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tak hanya di Jawa, Kalimantan Selatan (Kalsel) juga menyimpan banyak peristiwa berkait dengan sepak terjang partai berlambang palu arit ini.
Peristiwa Tiga Selatan dan Murka Soekarno Atas Langkah Hasan Basry Menolak Nasakom!erikut hasil wawancara jurnalis Kanalkalimantan.com, Ardian Putra Gani Silitonga, dengan Dosen Prodi Sejarah Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP ULM) Mansyur SPd MHum, melalui wawancara yang dilakukan, Selasa (29/9/2020) di Banjarmasin.
Sebagaimana daerah lain, PKI juga sempat berkembang pesat di Kalsel. Dari dokumen Pidato Kawan SA Sofjan (Sekretaris CDB PKI Kalimantan Selatan), dituliskan bahwa pada tahun 1955-1960 an, dalam pemilihan umum Parlemen tahun 1955, PKI memperoleh 9.574 suara, demikian pula saat pemilihan Konstituante, memperoleh 10.169 suara. Sedangkan dalam pemilihan DPRD pada tahun yang lalu PKI mendapat 22.618 suara.
Dalam pidato tersebut juga dituliskan, keanggotaan dalam DPRD-DPRD pun meningkat. Sebagai contoh, dalam DPRD-DPRD PKI di tingkat I dan II seluruhnya, mendapat 8 kursi. Di antaranya seorang yang duduk di Badan Penasehat Persiapan Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
Tak hanya itu, Comite Partai sudah berkembang hampir di semua kabupaten hingga sebagian besar kecamatan. Dari 849 desa, sudah separuhnya terdapat Comite-Comite Partai.
Perkembangan ini termasuk cepat, karena partai di Kalsel baru pada tahun 1950 ditabur benihnya, dan pada tahun 1954 disempurnakan. Hingga kemudian PKI merupakan partai ketiga terbesar di Kalsel sesudah NU dan Masyumi.
Organisasi-organisasi revolusioner pun mengalami kemajuan-kemajuan pesat, dari kurang lebih 25.000 kaum buruh yang terorganisasi, sudah ada 14.146 yang terorganisasi dalam organisasi buruh revolusioner.
“Dari dokumen pidato SA Sofjan juga terungkap, bahwa organisasi Pemuda Rakyat sudah ada di semua kabupaten dengan keanggotaannya lebih dari 3.000 orang,” kata Mansyur kepada Kanalkalimantan.com.
Di Kalsel sendiri, beberapa ormas di bawah naungan PKI juga terbentuk. Seperti Serbupri (Serikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia), Serba (Serikat Buruh Daerah Autonom) bagi pegawai pemerintah daerah, Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dan berbagai ormas lainnya.
Melihat perkembangan ini, Hasan Basry yang kala itu pada tahun 1959, ditunjuk sebagai Panglima Daerah Militer X Lambung Mangkurat, melakukan sejumlah langkah berani. Di tengah mulai munculnya perselisihan antara PKI dengan pemerintah pada tahun 1960, Hasan Basry mengeluarkan keputusan sementara melarang kegiatan Partai Komunis Indonesia dalam daerah Kalimantan Selatan.
Dengan Surat Keputusan No. 140/S/K.P/tahun 1960, yang berlaku sejak tanggal 22 Agustus 1960.
Presiden Soekarno rupanya tak berkenan dengan tindakan Hasan Basry. Meski hubungan PKI dan pemerintah sedang kurang harmonis, ia tidak ingin kondisi semakin memburuk. Bung Karno masih membutuhkan PKI yang menjadi salah satu pilar dalam konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis) yang dicetuskannya tahun itu.
Apalagi, sikap Penguasa Perang Daerah Kalimantan Selatan ini diikuti Daerah Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan, walaupun dua daerah ini tidak secara konkrit menuangkannya dalam Surat Keputusan.
“Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Peristiwa Tiga Selatan. merupakan tiga Komando Daerah Selatan, yakni Kodam Sumatera Selatan (Harun Sohar), Kodam Sulawesi Selatan (M Yusuf), dan Kodam Kalimantan Selatan (Hasan Basry) yang menolak Nasakom,” kata Mansyur.
Meskipun kemudian, Harun Sohar dan M Yusuf tidak bertahan lama. Mereka akhirnya menerima nasakomisasi daerahnya. Berbeda dengan Hassan Basry yang dapat bertahan lebih lama dengan pendiriannya karena sebagai pimpinan daerah yang solid (Hasan Basry-H Maksid-M Yusi), serta didukung masyarakat Banjar yang religius.
Tak ayal, sikap Hassan Basry ini pun membuat Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) Presiden Sukarno cukup berang. Saat diselenggarakan rapat Ketua Peperda se-Indonesia pada November 1960, Hasan Basry diminta oleh Presiden Sukarno untuk menjelaskan penolakannya mencabut pembekuan PKI di Kalimantan Selatan.
Alex Dinuth (1997) dalam Dokumen Terpilih Sekitar G.30.S/PKI menyebutkan sempat terjadi perdebatan antara kedua tokoh tersebut.
Selanjutnya, presiden kembali meminta Hasan Basry untuk patuh, sampai dua kali malah, tapi lagi-lagi mantan Pangdam X/Lambung Mangkurat kelahiran 1923 ini bergeming. Hasan Basry enggan menganulir keputusannya.
Posisinya ketika itu cukup kuat, karena dia duduk sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPR-S) sehingga Soekarno selaku mandataris tampaknya harus berpikir seribu kali jika ingin menindak tegas Hasan Basry.
Akhirnya, diputuskan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Peperda Tiga Selatan, termasuk Hasan Basry di Kalimantan Selatan, terkait pembekuan PKI akan diambil-alih sendiri oleh Soekarno selaku Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) untuk penyelesaiannya.
PKI akhirnya bisa beraktivitas lagi di tiga daerah itu pada 1961. Namun, Presiden Sukarno tampaknya masih kesal terhadap “pembangkangan” yang ditunjukkan oleh Hasan Basry. Dalam Pidato Kenegaraan saat peringatan hari kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1962 yang berjudul ‘Tahun Kemenangan’, Bung Karno meluapkan kemurkaannya: “… Malahan masih ada satu daerah, yang disitu itu belum dapat dibentuk Front Nasional Daerah, karena adanya orang-orang yang Komunisto Phobi. Kepada mereka itu saya berkata : Suatu hari akan datang yang saya melihat segala usahamu gagal. Dan mungkin satu hari akan datang, yang engkau harus menebus kejahatanmu itu di dalam penjara, atau tiang penggantungan.”
Lantas, bagaimana nasib Hasan Basry selanjutnya lantaran berkonfrontasi langsung dengan Soekarno sang presiden?
Ternyata, ia tetap baik-baik saja. Statusnya sebagai anggota MPR-S, ditambah dukungan penuh dari sebagian besar publik Kalimantan, tampaknya menjadi benteng pelindung yang cukup ampuh bagi Hasan Basry.
Tanggal 17 Mei 1961, bertepatan dengan peringatan Proklamasi Kalimantan yang dulu dicetuskan Hasan Basry pada 17 Mei 1949, segenap elemen masyarakat dan militer Borneo menetapkannya sebagai Bapak Gerilya Kalimantan. Pengangkatan tersebut didukung oleh parlemen daerah yakni DPR-GR Daerah Tingkat II Hulu Sungai Utara, yang pada 20 Mei 1962 mengukuhkan penetapan Hasan Basry sebagai Bapak Gerilya Kalimantan melalui surat keputusan resmi (Artum Artha & Syamsiar Seman, Hassan Basry Bapak Gerilya Kalimantan Pejuang Kemerdekaan, 1999).
Hasan Basry memang pencetus Proklamasi Kalimantan pada 17 Mei 1949 yang menegaskan bahwa Kalimantan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari NKRI.
Saat itu, sesuai Perjanjian Linggarjati, Kalimantan dinyatakan tidak termasuk wilayah RI karena yang diakui Belanda secara de facto hanya Jawa, Madura, dan Sumatera.
Hasil kesepakatan di Linggarjati itu ditentang oleh Hasan Basry dengan menyerukan Proklamasi Kalimantan 1949. (Bersambung)
Reporter: Putra
Editor: Cell
-
Kota Banjarmasin3 hari yang lalu
UMK Banjarmasin Naik Menjadi Rp3,59 Juta
-
Kaleidoskop 20242 hari yang lalu
Kemajuan Pembangunan Kabupaten Banjar di Segala Bidang
-
Kalimantan Selatan3 hari yang lalu
Dari Banua Creative Festival, Kalsel Incar Tuan Rumah Ekrafnas 2025
-
HEADLINE2 hari yang lalu
Begini Hitung-hitungan Pajak Baru Kendaraan Bermotor 2025
-
Bisnis3 hari yang lalu
Hadir Perdana di Banjarbaru, Generasi Happy Tri Ajak Gen Z Bikin Kreasi
-
PLN UIP3B KALIMANTAN2 hari yang lalu
Sinergi Pelayanan Antar Proses Bisnis, PLN UIP3B Kalimantan Gelar Customer Gathering 2024