Connect with us

HEADLINE

Menyoal Rapid Test, ‘Tarik Menarik’ Manfaat Deteksi Covid-19 dengan Tudingan Komersialisasi!

Diterbitkan

pada

Pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan soal batasan tarif Rapid test yang sebelumnya dikeluhkan masyarakat. Foto: fikri

KANALKALIMANTAN.COM, BANJARBARU – Surat Edaran Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terkait batasan tarif rapid test antibodi untuk Covid-19 dengan biaya tertinggi hanya Rp 150 ribu, menuai pro kontra di tengah masyarakat. Sebagian menganggap aturan yang tertuang dalam Surat Edaran Nomor HK.02.02/I/2875/2020 tentang Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan Rapid Tes Antibodi itu mampu meminimalisir terjadinya komersialisasi. Tapi lainnya menganggap penetapan tarif tersebut tak sesuai dengan realitas operasional di lapangan hingga menegaskan bahwa hal tersebut sudah menjadi lahan bisnis.

Keluarnya SE Menkes tersebut, menyusul adanya kebijakan Terawan yang mewajibkan seluruh awak dan calon penumpang angkutan laut maupun udara melampirkan surat keterangan sehat dan hasil pemeriksaan rapid test antibodi saat membeli tiket perjalanan.

Kritik adanya dugaan rapid test menjadi lahan bisnis disampaikan anggota Ombudsman Alvin Lie dan Pakar Epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono. Keduanya sepakat bahwa biaya rapid test atau tes PCR telah dikomersialkan oleh sejumlah pihak.

Alvin mengatakan seseorang yang telah melakukan rapid test tidak menjamin bahwa orang tersebut terbebas dari virus. Hal tersebut dikarenakan, rapid test antibodi ini tidak mendeteksi virus dalam tubuh seseorang. “Ini juga membuktikan bahwa rapid test itu tidak mendeteksi apakah seseorang itu tertular Covid atau tidak, hanya test antibodi,” kata Alvin kepada wartawan, Rabu (8/7/2020) seperti dilansir detik.com.

 

Sementara Pandu mengatakan, biaya Rp 150 ribu rapid test yang ditetapkan Kemenkes dinilai masih terbilang mahal. Menurutnya, harga itu hanya untuk menebus alat rapid testnya saja. “Seharusnya di bawah Rp 100 ribu kalau perlu Rp 100 ribu aja,” katanya.

Pandu mengatakan biaya Rp 150 ribu untuk sekali rapid test belum termasuk dengan biaya untuk membayar jasa pelayanan tenaga medisnya. Dia menyebut jika diakumulasikan untuk biaya rapid test tersebut bisa mencapai Rp 300 ribu hingga Rp 500 ribu. “Nanti ada tambahan-tambahan lagi, Itu kan harga testnya aja. Ongkos petugasnya, layanannya? Jadi masih jalan untuk tetap mengkomersialkan,” katanya.

Alvin menambahkan, syarat menyertakan surat keterangan pemeriksaan PCR atau rapid test bagi calon penumpang yang hendak melakukan perjalanan di dalam negeri dinilai sudah tidak relevan lagi diterapkan. Seharusnya aturan tersebut hanya berlaku untuk perjalanan ke luar negeri.

“Dengan adanya ini justru kita pertanyakan apakah masih relevan melakukan test antibodi ini sebagai syarat bepergian bagi penumpang pesawat udara, kereta api, maupun kapal. Karena sebenarnya rapid test ini tidak ada gunanya untuk mencegah penularan Covid-19,” kata Alvin.

“Perlu diingat bahwa hanya di Indonesia yang mensyaratkan calon penumpang pesawat udara maupun kereta api untuk mempunya sertifikat uji Covid. Negara lain tidak ada yang mensyaratkan itu, syarat itu hanya untuk lintas negara bukan untuk penerbangan domestik atau rute dalam negeri,” lanjutnya.

Komitmen agar rapid test tak menjadi ajang bisnis juga ditegaskan anggota Komisi IX DPR RI Kurniasih Mufidayati. Ia meminta Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memastikan rapid test virus corona (Covid-19) tak dijadikan sebagai ajang bisnis oleh sejumlah oknum. Pemerintah pun perlu serius mengawasi agar biaya rapid test ini tak dibanderol melebihi yang sudah ditetapkan Kemenkes.

Infografis: kanalkalimantan/yuda

Infografis: kanalkalimantan/yuda

Mufida mengatakan Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan dan Agus Putranto harus turun tangan mengawasi langsung pelayanan rapid test di lapangan. Menurutnya, pemerintah bertugas memastikan rakyat mendapat pelayanan rapid test terbaik.

Mufida mengapresiasi langkah Kemenkes menerbitkan Surat Edaran Nomor HK.02.02/I/2875/2020 tentang Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan Rapid Tes Antibodi. Namun ia meminta pemerintah serius melakukan pengawasan agar tak ada yang melanggar batasan maksimal biaya rapid test.

Setiap fasilitas kesehatan yang menggelar rapid test harus menandatangani persetujuan mematuhi aturan itu, kata Mufida. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pemerintah memastikan tarif rapid test di lapangan sesuai dengan aturan.

“Monitoring bisa dilakukan secara sampling dengan sidak atau secara rutin. Bagus kalau Kemenkes dan jajaran di daerah membuka hotline pengaduan harga rapid test di lapangan,” tuturnya.

Sebelumnya, Ketua DPW Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres, Pos dan Logistik Indonesia (Asperindo) Kalsel, Depi Hariyanto, menyatakan keberatan dengan aturan surat bebas Covid-19 untuk masuk ke suatu daerah. Sementara biaya sekali pemeriksaan, menurut Depi, sekitar Rp 500 ribu. “Itu artinya perusahaan harus menyiapkan sekitar Rp 2 juta untuk satu sopir setiap bulannya,” kata Branch Manager JNE Banjarmasin tersebut.

Syarat Rapid Test Digugat

Sebelumnya, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 dilaporkan ke Ombudsman RI terkait syarat rapid test bagi penumpang yang akan bepergian menggunakan transportasi publik di tengah pandemi virus corona (covid-19). Sebelumnya ia telah menggugat aturan syarat rapid test tersebut ke Mahkamah Agung.

Syarat rapid test ini tertuang dalam Surat Edaran Gugus Tugas Nomor 9 Tahun 2020 bagi penumpang yang akan bepergian menggunakan pesawat, kereta api, maupun kapal laut. “Kami mengadukan Gugus Tugas ke Ombudsman terkait aturan perubahan kewajiban rapid test bagi penumpang transportasi umum seperti diatur dalam SE Nomor 9 Gugus Tugas,” ujar pelapor, Muhammad Sholeh.

Diketahui, ketentuan dalam Surat Edaran tersebut mengubah masa berlaku rapid test yang semula 3 hari menjadi 14 hari. Ketentuan ini berlaku pula untuk masa berlaku tes PCR yang semula 7 hari menjadi 14 hari.

Sholeh tak mempermasalahkan masa berlaku tes tersebut. Namun menurutnya kewajiban rapid test itu menyusahkan penumpang yang akan bepergian. “Meski sudah diubah dari tiga hari menjadi 14 hari tetap menyusahkan penumpang. Kami menuntut dihapus kewajiban rapid test, bukan diubah masa berlakunya,” katanya.

Sholeh menilai, Gugus Tugas tak berwenang mengatur syarat penumpang. Menurutnya, ketentuan tentang penumpang yang akan bepergian di tengah pandemi menjadi kewenangan Kementerian Perhubungan.

“Kebijakan rapid test berbiaya mahal ini sangat merugikan calon penumpang. Sebab tidak semua penumpang orang kaya,” ucap Sholeh.

Sholeh sebelumnya telah menggugat kewajiban rapid test ke Mahkamah Agung (MA) dengan berpedoman pada SE Gugus Tugas Nomor 7 Tahun 2020. Dalam Surat Edaran tersebut masih mengatur masa berlaku hasil rapid test negatif tiga hari dan tes PCR tujuh hari.

Tak lama muncul Surat Edaran Nomor 9 Tahun 2020 yang mengubah masa berlaku hasil rapid test dan tes PCR menjadi 14 hari. (Kanalkalimantan.com/cel/dtc/suara)

 

Editor : Cell


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->