Connect with us

HEADLINE

Nasib Lingkungan ‘Di Ketiak’ UU Omnibus Law, Jalan Mundur demi Investasi

Diterbitkan

pada

UU Omnibus law mengancam pelestarian lingkungan di Kalsel. Ilustrasi Foto: alena koval/pexels

KANALKALIMANTAN.COM, BANJARBARU – Pasal-pasal kontroversial bermunculan terkait UU Omnibus Law Cipta Kerja di bidang lingkungan hidup. Alih-alih menjamin kelestarian alam, beberapa pasal justru bertolak belakang dengan hal tersebut dengan dalih menggenjot investasi.

Secara garis besar, UU Cipta Kerja menghapus, mengubah, dan menetapkan aturan baru terkait perizinan berusaha yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Pemberian izin lingkungan kini menjadi kewenangan pemerintah pusat. Pemerintah daerah tidak dapat lagi mengeluarkan rekomendasi izin apapun.

Hal ini tercantum dalam Pasal 24 ayat 1 yang menyebutkan analisis mengenai dampak lingkungan atau Amdal menjadi dasar uji kelayakan lingkungan hidup oleh tim dari lembaga uji kelayakan pemerintah pusat.

Infografis: kanalkalimantan/andy

Tim itu terdiri atas unsur pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan ahli bersertifikat. Pemerintah pusat atau pemerintah daerah menetapkan keputusan kelayakan lingkungan hidup.

Keputusan ini akan menjadi syarat penerbitan perizinan berusaha dari pemerintah. Hal ini bertolak belakang dengan aturan sebelumnya. Dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 menyebutkan dokumen Amdal dinilai oleh Komisi Penilai Amdal yang dibentuk menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai kewenangan.

Jika tidak ada rekomendasi Amdal, maka izin lingkungan tak akan terbit. Perubahan itu yang mendapat kritik dari sejumlah pegiat lingkungan.

Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Hindun Mulaika berpendapat keberadaan Amdal yang dilemahkan menjadi ancaman bagi kelestarian alam. Apalagi, kini analisis dampak lingkungan hanya untuk proyek berisiko tinggi. Namun, dasar untuk menentukan proyek berisiko rendah atau tinggi belum terang benar aturan mainnya sampai sekarang.

Masalah lainnya dari omnibus law itu adah proses perizinan yang tidak melibatkan peran atau partisipasi masyarakat. “Bagian ini kemudian dibatasi hanya untuk mereka yang terdampak langsung. Nah, soal terdampak langsung ini menjadi perdebatan besar,” kata Hindun dilansir Katadata.

Masyarakat pun tak dapat lagi mengajukan keberatan terhadap dokumen Amdal dalam aturan baru tersebut. Pelemahan aturan lingkungan hidup ini, menurut Greenpeace, seharusnya tidak dilegalkan secara hukum. Pemerintah harus belajar untuk merevisi undang-undang yang memiliki urgensi sangat penting.

Jangan sampai aturan baru justru tidak menyelesaikan masalah di lapangan. “Konflik agraria dan kasus perebutan lahan hampir terjadi proyek besar. Artinya, ada masalah yang tidak selesai,” ucapnya.

UU Cipta Kerja justru menyelesaikan masalah dengan cara keberpihkan kepada investor. Wewengan korporasi saat ini menjadi lebih besar. Dan ini terjadi di tengah masyarakat yang sedang berjuang melawan krisis kesehatan dan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Jumlah konflik agraria sulit diredam dari tahun ke tahun.

Fluktuasi kasus ini didasari oleh kondisi agraria nasional yang tidak stabil tanpa adanya ujung penyelesaian.

Dari data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), terdapat 659 konflik agraria yang terjadi pada 2017. Angka ini merupakan yang tertinggi selama lima tahun terakhir.

Sementara itu, laju perkembangan kasus ini melonjak naik sebesar 78,67% dari 2015 ke 2016, seperti terlihat pada Databoks di bawah ini. Konflik agraria sebagian besar dipicu oleh kebijakan pejabat publik yang berdampak luas pada dimensi sosial, ekonomi, dan politik.

Sektor yang paling banyak menyumbang terjadinya konflik agraria yaitu sektor perkebunan. Pada 2018, 60% dari 144 konflik agraria di sektor perkebunan timbul pada komoditas kelapa sawit.

Hal ini dikarenakan adanya praktek pembangunan dan ekspansi perkebunan di Indonesia yang melanggar hak-hak masyarakat atas tanah.

Hal yang sama, Manager Kampanye Iklim Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Yuyun Harmono menyesalkan pengesahan aturan yang disebut UU Ciptaker itu. Upaya hukum akan organisasinya tempuh, yaitu melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

Beberapa poin-poin tentang perlindungan lingkungan hidup, menurut dia, harus dihapuskan. Di sisi lain, banyak deregulasi perlindungan ketenagakerjaan dan pemberian akses yang sangat mudah kepada investor. “Banyak hal yang perlu dikoreksi,” ujarnya.

Angan-angan pemerintah untuk mendorong investasi, ternyata tak berkorelasi dengan peningkatan kualitas dan harapan hidup serta lingkungan. “Jadi, enggak nyambung apa yang dicita-citakan dengan realitas yang terjadi,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Nasional Walhi Nur Hidayati menyebut pengesahaan Omnibus Law Cipta Kerja merupakan puncak pengkhianatan negara terhadap hak buruh, petani, masyarakat adat, perempuan, dan lingkungan hidup serta generasi mendatang.

Pilihan mengesahkan RUU yang tidak mencerminkan kebutuhan rakyat dan alam merupakan tindakan inkonstitusional.

Terkait isu agraria, undang-undang itu dianggap melanggengkan dominasi investasi dan bakal mempercepat laju kerusakan lingkungan. Beberapa poin krusialnya adalah penghapusan izin lingkungan sebagai syarat penerbitan izin usaha, pengurangan pertanggungjawaban mutlak dan pidana korporasi, serta perpanjangan masa waktu perizinan berbasis lahan.

Ketentuan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 mengenai izin lingkungan dihapus dalam UU Cipta Kerja. Padahal, dalam aturan lama menyebutkan izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha.

Lalu, undang-undang yang baru juga menghapus soal hak setiap orang mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara atau PTUN apabila perusahaan atau pejabat menerbitkan izin lingkungan tanpa Amdal.

UU Cipta Kerja justru mengurangi dan menghilangkan partisipasi publik dalam ruang peradilan dan perizinan. Dengan kondisi itu, Walhi menyatakan mosi tidak percaya kepada Presiden, DPR, dan DPD. “Satu-satunya cara menarik mosi ini adalah negara secara sukarela membatalkan pengesahan UU Cipta Kerja,” kata dia.

Walhi menilai undang-undang itu merupakan persekongkolan jahat proses legislasi yang mengabaikan kepentingan hak asai manusia dan alam.

Negara hanya berpihak pada ekonomi kapitalistik yang akan memperparah kemiskinan dan hilangnya hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.(Kanalkalimantan.com/andy/katadata)

Editor: Cell


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->