Connect with us

NASIONAL

Nasib RUU Masyarakat Adat Kian Tak Jelas

Diterbitkan

pada

Pembahasan RUU masyarakat adat terus molor Foto: net

JAKARTA, Kelompok masyarakat sipil, tergabung dalam Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, kembali mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (RUU masyarakat adat). Semestinya, kalau sesuai rencana, pembahasan RUU ini sudah masuk masa persidangan pada Agustus 2018. Regulasi ini penting dalam mewujudkan, hak masyarakat adat yang kian terancam.

Namun hingga Februari tahun ini, proses pembahasan RUU masyarakat adat masih penuh tanda tanya. Pemerintah hingga kini, belum juga menyerahkan daftar inventarisasi masalah (DIM) kepada DPR. Padahal, dokumen itu menjadi syarat bagi legislatif dan eksekutif bisa melanjutkan pembahasan RUU MA.

Kelompok masyarakat sipil pun mendesak agar presiden memantau pembantu-pembantunya yang terkait isu ini segera menyusun DIM. Sebenarnya, DIM RUU masyarakat adat, sudah harus diserahkan kepada DPR dalam kurun waktu 60 hari terhitung sejak surat pimpinan DPR yang diterima Presiden Jokowi. Surat DPR kepada Jokowi pada 12 Februari 2018.

”Lambatnya proses ini menurut saya sebagai bentuk penolakan halus pemerintah dengan segaja memperlama DIM dan wujud pembangkangan perintah Presiden, oleh pembantu-pembantunya,” kata Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM Pengurus Besar AMAN, di Jakarta, baru-baru ini.

Dilansir mongabay.co.id, pada pertemuan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), presiden berjanji mempecepat proses perundang-undangan ini, sampai keluar surat presiden (supres) pada 18 April 2018. Isinya, menunjukkan, wakil pemerintah untuk membahas RUU tentang masyarakat adat.

Presiden menugaskan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi dan Menteri Hukum dan HAM.

”Proses ini menjadi stagnan pembahasan karena DIM tidak ada. Kunci pembahasan saat ini ada di pemerintah,” katanya.

Informasi DIM pun masih tidak jelas. Koalisi sempat mengirimkan dua kali surat kepada Kementerian Sekretaris Negara. Pertama, 8 November 2018, koalisi meminta permohonan audiensi terkait proses pembahasan RUU masyarakat Adat. Surat ini berbalas pada 19 November 2018, mengatakan, tak dapat memenuhi permohonan karena masih dalam pembahasan tingkat satu.

Merasa tak puas, koalisi pun kembali mengirimkan surat pada 22 Januari 2019, untuk mempertanyakan kembali terkait DIM dan meminta audiensi kepada Setneg. Pada 22 Februari lalu, kata Arman, Setneg memenuhi permintaan audensi koalisi diterima Lidia Silvana, Deputi II Bidang Hukum. “Koalisi diterima (setneg) ditemukan masalah, baru satu kementerian yang paraf, yakni Kementerian ATR/BPN. Yang lain belum,” katanya.

Selama ini, paraf lintas kementerian pun saling tuduh. Keadaan ini membuktikan, koordinasi dan sinkronisasi antarkementerian tak berjalan lancar. “Kalau saya membaca ini sesungguhnya pemerintah tak mau mengakui masyarakat adat dan pembangkangan terhadap pemerintah presiden,” kata Arman.

Sementara itu, Siti Rakhma Mary Herawati, Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mengatakan, koalisi pun menyurati dan mempertanyakan kepada kementerian, malah dipingpong dan serba ketidakpastian. ”Waktunya sangat mepet sekali, saya tidak yakin, jika DIM keluar bulan depan namun ada pemilihan presiden dan legislasi (17 April 2019), mau dibahas kapan lagi?”

Bahkan, dia khawatir RUU masyarakat adat, kembali gagal diundangkan, setelah dua kali periode pemerintahan dibahas, yakni dalam program legislasi nasional 2015 dan 2016. Selama ini, katanya, Pemerintahan Jokowi, hanya memberikan pengakuan kepada masyarakat adat dan luasan kecil sekali. ”Untuk legislasi ini, isu-isu masyarakat ini lewat.”

Padahal, dalam Nawacita menyebutkan, pembahasan dan pengesahan RUU masyarakat adat menjadi komitmen pemerintahan tahun ini. ”Ini soal konsistensi DPR dan pemerintah. Meski waktu sangat mepet, jika mereka serius, masih cukup,” kata Arman.

Dari sisi substansi RUU, koalisi telah memberikan masukan tertulis kepada DPR. Adapun masukan, antara lain, hak wilayah adat, hak budaya spiritual, hak perempuan adat, hak anak dan pemuda adat, hak atas lingkungan hidup, dan hak untuk berpartisipasi. ”RUU masyarakat adat bukanlah alat dagang politik. UU ini diperlukan Bangsa Indonesia, karena merupakan mandate konstitusi UUD 1945,” katanya.

Komitmen atas RUU ini, tak cukup di atas kertas atau hanya omongan politik para pemimpin negara ini, katanya, perlu menunjukkan keberpihakan nyata pada situasi masyarakat adat yang selama beberapa generasi menjadi korban ketidakadilan atas kebijakan sumberdaya alam di Indonesia.(lusia/mgb)

Reporter : Lusia/mgb
Editor : Chell


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->