Connect with us

HEADLINE

Nateh, Desa ‘Berbenteng Batu’ di Kaki Meratus yang Tak Gentar oleh Intimidasi Tambang

Diterbitkan

pada

Suasana Desa Nateh yang asri di kaki Meratus Kalimantan Selatan Foto : mario

BARABAI, Kehidupan warga Desa Nateh, di kaki pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan (Kalsel) jauh dari kata layak. Meski masih sama-sama dilalui oleh aliran Sungai Batang Alai, yang membuat Nateh berbeda dari Kiyu yang adalah Nateh dikelilingi oleh pegunungan batu yang menjulang tinggi. Namun baik masyarakat Kiyu dan Nateh, semua sepakat untuk melawan pertambangan masuk menjajah tanah kelahiran mereka.

Junalis Kanalkalimantan.com, menyusuri desa tersebut selesainya perjalanan di Kampung Kiyu, Kecamatan Batang Alai Timur, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), beberapa waktu lalu. Setelah berpamitan dengan warga Kiyu dan menyempatkan berendam di aliran sungai Batang Alai, rombongan kami yang terdiri sejumlah jurnalis dan Walhi Kalsel pun beranjak melanjutkan perjalanan.

Desa Nateh jadi tujuan berikutnya. Perjalanan kami memakan waktu sekitar setengah jam lebih dari Kiyu menggunakan kendaraan roda empat.

Penduduk Nateh adalah suku Banjar. Nateh lahir tahun 1977, kala itu rumah penduduk masih sedikit dan jalan belum beraspal. Jauh berbeda, kini ada 500 rumah di Nateh dengan 700-an penduduk. Mayoritas pekerjaan masyarakat perempuan Nateh adalah penyadap karet dan laki-laki biasanya menjadi pemecah batu gunung. Ada pula yang berkebun, tapi hasil kebun biasanya tidak mereka jual melainkan untuk dikonsumsi. Untuk sumber air, warga Nateh memanfaatkan persediaan air gunung dan air sungai Batang Alai yang melimpah.

Nateh dikelilingi oleh gunung Titi, gunung Pasulingan, dan gunung Rindang. Gunung-gunung ini merupakan bentang alam karst. Hasil penelitian Ahli Karst menyebutkan bahwa ekosistem karst memiliki fungsi aquifier air alami, yakni sebagai penampung dan penyalur air bagi wilayah sekitarnya. Fungsi aquifer ini terancam rusak jika kawasan karst menjadi tambang batubara yang menggali kawasan karst dan tempat sekitarnya. 56 persen area PKP2B PT. Mantimin Coal Mining (MCM) di HST berada di bentang alam karst.

Di gunung-gunung inilah masyarakat desa Nateh menggantung harapan kehidupan mereka. Itulah yang dikatakan oleh Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) Nateh, Arbaini. Pria beranak satu yang akrab disapa Abah Natih menyambut kedatangan kami dan juga memberi wadah bagi kami untuk menginap. Pertemuan kami dengan Abah Natih masihlah permulaan, sebelum esoknya kami bertemu dengan lebih banyak warga desa Nateh hingga menjelajah salah satu goa di gunung Pasulingan.

Bersama Abah Natih, ia mengenalkan kami dengan Irma, Ia merupakan seorang istri dengan dua anak. Suaminya tak lagi bisa bekerja. Jadi Irma lah yang menjadi penopang ekonomi keluarga. Irma bekerja sebagai penyadap karet, biasanya dalam sehari Irma menghasilkan 5 Kg getah karet. Saat ini harga karet berada di angka enam ribu per kilo. Pohon karet yang disadap oleh Irma bukanlah miliknya, ia hanya sebagai penyadap dari kebun milik orang lain. Sehingga hasil penyadapan selama sehari harus ia bagi lagi dengan si pemikik kebun. Penghasilan Irma 10-20 ribu per hari yang ia gunakan untuk menopang perutnya, suami, dan dua anaknya.

“Ya begitulah. Suami sudah tidak bisa bekerja lagi. Kalau tidak cukup terpaksa dicukup-cukupi. Kalau untuk beras, kami dapat beras miskin seminggu sekali,” cerita Irma.

Sementara untuk warga laki-laki Nateh yang bekerja sebagai pemecah batu mendapatkan pemasukan bersih dari 200-450 ribu per hari. Namun tentu hal ini tidak sebanding dengan reskio keselamatan. Sudah ada beberapa warga desa Nateh yang meninggal akibat tertindih bebatuan ketika bekerja. Begitulah realitanya. “Namun kehidupan para warga ini tentu tak akan bisa digantikan oleh apapun jika mereka harus kehilangan semuanya oleh pertambangan,” ujar Anah Nateh.(mario)

Reporter : Mario
Editor : Chell


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->