Connect with us

HEADLINE

Omnibus Law, Konsolidasi Oligarki yang ‘Mengancam’ Lingkungan dan Pekerja!


Dewan Kalsel Klaim Sudah Lakukan Penolakan


Diterbitkan

pada

Demo mahasiswa di DPRD kalsel menolak Omnibus law, Senin (13/7/2020) Foto: Fikri

KANALKALIMANTAN.COM, BANJARMASIN – Sempat tegang lantaran permintaan mahasiswa yang menamakan Fraksi Rakyat Indonesia Kalimantan Selatan untuk bertemu dewan tak segera dipenuhi, akhirnya Ketua DPRD Kalsel H. Supian HK akhirnya menemui pendemo.

Pantauan di lokasi demonstrasi di depan Gedung DPRD Kalsel pada Senin (13/7/2020) siang, Supian tampak duduk  bersama ratusan mahasiswa yang menuntut pencabutan RUU Omnibus Law.

Selain mengapresiasi aspirasi mahasiswa, Supian mengklaim pihaknya bersama Komisi IV DPRD Kalsel telah terbang ke Jakarta dan menyampaikan tuntutan-tuntutan yang dikemukakan oleh mahasiswa. Seperti ke Sekretariat Presiden, kementerian terkait termasuk DPR RI Komisi IX.

“Sikap kami jelas menolak, kami tetap mengontrol sampai mana pembahasan omnibus law. (Kami tegaskan) menolak,” tegas Supian di hadapan ratusan mahasiswa.

 

Kendati tuntutan pencabutan RUU Omnibus Law sudah disampaikan, Supian pun memberikan tawaran. Jika mahasiswa memiliki tuntutan tambahan. “Kami sudah menolak terus apalagi yang harus dilakukan? RUU Omnibus Law belum disahkan di pusat,” tambah Supian.

Sementara itu, Ketua Komisi IV HM Lutfi Saifudin juga sependapat dengan Supian. Menurut Lutfi, RUU Omnibus Law akan merugikan pekerja, karena diantaranya penggajian jaminan sosial para pekerja dihilangkan. “Ini merugikan Kalsel, karena kita merupakan dua terbesar produksi batu bara secara nasional,” kata Lutfi.

Dia khawatir, dengan disahkannya RUU Omnibus Law, pendapatan asli daerah (PAD) Kalsel akan hilang lebih dari separuh. Lutfi sendiri kembali menegaskan penolakan RUU Omnibus Law. “Jami semua yang ada di Rumah Banjar akan menolak apapun yang terjadi. Terutama yang merugikan rakyat dan keseluruhan,” pungkas Lutfi.

Di sela-sela dengar pendapat, mahasiswa tampak memberikan pembersih telinga berukuran besar kepada Supian. Mahasiswa mengklaim, pemberian pembersih telinga itu merupakan wujud agar wakil rakyat mau mendengarkan aspirasi masyarakat.

Penolakan atas RUU Omnibus Law tak hanya di Kalsel. Tapi di berbagai tempat, penolakan serupa juga dilakukan mahasiswa dan aktivis. Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana mengatakan, Omnibus Law adalah pemikiran yang keliru. Kata Arif, seharusnya pembentukan aturan menyertakan semua pemangku kepentingan, termasuk rakyat. Salah satunya adalah masyarakat yang nantinya akan terdampak. Namun, menurut Arif, sejauh ini orang-orang yang terlibat hanya orang-orang tertentu sehingga ke depan akan cenderung terjadi pendekatan yang destruktif.

“Omnibus Law adalah konsolidasi oligarki politik dan cara terakhir negara menyelamatkan elit politik oligark. Tak ada satu pun pasal atau kata ’perempuan’ dalam draf RUU yang dibuat. Padahal kabar terakhir RUU itu sudah masuk prolegnas,” katanya.

Selein itu, dampak lingkungan dari Omnibus Law ini telah dipetakan juga oleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM). Koordinator JATAM, Merah Johansyah, menilai bahwa Omnibus Law akan menimbulkan daya rusak yang tinggi terhadap aspek pertambangan dan lingkungan hidup di Indonesia. “Menurut saya, rancangan Omnibus Law akan resmi melakukan pengusiran, peracunan, dan akan membentuk pengungsian sosial ekologi kolosal di Indonesia, karena akan adanya bencana lingkungan hidup di Indonesia,” kata Merah.

“Padahal BNPB pernah menyebut ada sekitar enam juta warga mengungsi massal akibat kerusakan dan bencana lingkungan,” lanjutnya.

Merah mengaku pihaknya telah melakukan pemetaan bahwa akan ada tiga UU yang akan terintegrasi atau diselaraskan dengan RUU Omnibus Law, yaitu UU 4/2008 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), dan UU 41/1999 tentang Kehutanan.

Kata dia, Omnibus Law akan banyak melakukan perubahan, penghapusan, dan penambahan pasal terhadap tiga UU itu. “Contoh, yang awalnya ‘izin usaha pertambangan’ akan diubah menjadi ‘perizinan berusaha pertambangan’,” katanya.

Tak hanya itu, Omnibus Law akan berusaha menghapus tahapan-tahapan produksi ketika korporasi ingin melakukan pertambangan. “Awalnya kan ada eksplorasi, terus produksi, dan seterusnya. Nah, tahapan itu akan dihapus. Pemodal akan untung karena langsung dapat izin jadi satu,” katanya.

Peran Polisi

Ombudsman Republik Indonesia menolak adanya perluasan kewenangan Polri dalam Omnibus Law Rancangan Undang-Undang atau RUU Cipta Kerja. Sebab, menurut Komisioner Ombudsman Ninik Rahayu, sejumlah pasal yang memberikan leluasa lebih kepada Polri, dinilai tidak memiliki definisi yang jelas.

Misalnya Pasal 82 RUU Cilaka mengubah Pasal 15 UU Kepolisian. Dalam pasal itu, Polri diperkenankan untuk mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; dan melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan.

“Ibu dan bapak ini catatan penting mengenai beberapa hal. Pertama adalah definisi penyakit masyarakat, aliran yang dapat menimbulkan perpecahan, dan pemeriksaan khusus,” kata Ninik dalam diskusi daring pada Ahad (12/7/2020).

Menurut Ninik, penjelasan definisi tersebut sebelumnya sudah ada dalam Pasal 15 ayat (1) huruf c dan d UU Nomor 2 Tahun 2002. Bahwa yang dimaksud dengan penyakit masyarakat adalah pengelandangan, pengemisan, pelacuran, perjudian, penyalahgunaan obat dan narkotika, pemabukan, perdagangan manusia, penghisapan atau praktik lintah darah, dan pungutan liar.

Menurut Ninik, perlu adanya standar dalam definisi agar kemudian tidak bersifat subyektif dan berpotensi tidak adil ketika ada warga negara yang sedang berhadapan dengan hukum. “Jangan sampai ada diskriminasi karena perbedaan gender, ras, agama, dan lainnya,” ucap Komisioner Ombusman ini. (Kanalkalimantan.com/fikri/berbagai sumber)

 

Reporter : Fikri
Editor : Cell


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->