Connect with us

OPINI

Komunikasi Temulawak UU Cipta Kerja

Diterbitkan

pada

UU Omnibus law yang ditentang publik. Foto: grafis kanalkalimantan/yuda

Harliantara-Kaprodi Magister Ilmu Komunikasi Unitomo, Praktisi radio kesehatan keluarga KISI. Foto: dok pribadi

Oleh : Harliantara
(Kaprodi Magister Ilmu Komunikasi Unitomo, Praktisi radio kesehatan keluarga KISI)

Gelombang aksi unjuk rasa menetang UU Cipta Kerja telah terjadi secara masif di berbagai penjuru tanah air. Aksi unjuk rasa dilakukan oleh para pekerja/buruh anggota serikat pekerja maupun yang belum bergabung dalam organisasi pekerja.

Selain itu unjuk rasa juga diikuti oleh para mahasiswa dan pelajar SMK serta SMA. Para mahasiswa dan pelajar itu ikut unjuk rasa karena mereka adalah calon tenaga kerja yang tentunya sangat terdampak jika UU Cipta Kerja disahkan.

Sejak omnibus law RUU Cipta Kerja digulirkan hingga disahkan sering terjadi miskomunikasi antara pihak pemerintah dan DPR terhadap rakyat. Penyusunan hingga pengesahan UU Cipta Kerja diwarnai dengan kegagalan komunikasi sehingga menimbulkan kegelisahan yang akhirnya berubah menjadi gelombang unjuk rasa yang luar biasa di berbagai kota.

Pihak DPR terutama badan legislasi (baleg) telah gagal berkomunikasi dengan konstituennya. Bahkan para menteri yang terkait dengan penyusunan UU Cipta Kerja kurang mampu menerapkan kaidah komunikasi publik dengan gaya komunikasi yang lugas.

Gaya komunikasi pemerintah dan DPR sering klise dan acap kali mengemukakan aspek yang manis-manis saja. Terkait dengan penyusunan UU Cipta Kerja, pasal-pasal yang pahit-pahit untuk rakyat tidak dikemukakan bahkan ditutup-tutupi dengan argemuentasi yang manis-manis.

Salah satu contoh pemerintah dan DPR lebih sering mengemukakan hal yang manis manis saja padahal kenyataannya tidak seperti itu adalah masalah pasal terkait pesangon jika pekerja terkena PHK.

Dalam hal ini selalu digembar-gemborkan tentang jaminan kehilangan pekerjaan (JKP), padahal dengan skema itu tetap saja jumlah pesangon yang diperoleh pekerja lebih rendah dibanding dengan ketentuan UU Nomor.13 tahun 2003.

Di dalam Undang-Undang (UU) Cipta kerja yang baru disahkan pada Senin (5/10/2020), salah satu pasal yang dianggap bermasalah dan paling mendapat sorotan adalah mengenai pesangon.
Pasalnya, pemerintah dan DPR sepakat untuk mengubah besaran nilai maksimal pesangon yang didapatkan pekerja menjadi sebesar 25 kali upah yang terdiri atas 19 kali upah bulanan buruh, serta 6 kali jaminan kehilangan pekerjaan (JKP).

Padahal ketentuan di dalam UU Ketenagakerjaan No 13/2003, besaran nilai pesangon yang bisa didapatkan buruh mencapai 32 kali upah. Di dalam UU tersebut dijelaskan, untuk masa kerja delapan tahun atau lebih, maka besaran pesangon yang didapatkan sebesar sembilan bulan upah.  Selain itu, untuk pekerja dengan masa kerja 24 tahun akan lebih, akan mendapatkan uang penghargaan masa kerja sebesar 10 bulan upah. Ditambah lagi, terdapat klausul lain yang menjelaskan,

bila pekerja mengalami PHK karena efisiensi, dirinya berhak atas uang pesangon dengan nilai dua kali lipat dari yang sudah ditentukan.  Sementara di UU Cipta Kerja, pasal mengenai tambahan pesangon yang didapatkan pekerja bila perusahaan melakukan efisiensi dihapus.

Mestinya pemerintah dan DPR dalam kondisi bangsa yang sulit sekarang ini jangan terlalu mengumbar gaya komunikasi yang sarat pemanis. Lebih baik memakai gaya komunikasi temulawak, meskipun pahit namun bisa menyehatkan tubuh bangsa.

Kredo gaya komunikasi yang efektif adalah yang kuat mengkonsumsi fakta meskipun penuh kepahitan.  Pepatah Inggris mengatakan bahwa facts are stronger than words, kurang lebih bermakna fakta-fakta adalah lebih kuat daripada kita. Ironisnya, banyak elite politik saat ini justru menyembunyikan fakta-fakta lalu memutarbalikkan hingga menjadi cermin pencitraan bagi dirinya.

Fakta memang ada yang manis seperti madu, tetapi juga banyak yang pahit seperti temulawak. Fakta temulawak itulah yang justru dapat menyehatkan tubuh Indonesia yang sedang menderita komplikasi penyakit.

Dalam kontekstual jamu temulawak pahit seharusnya kepemimpinan nasional mampu mengkomunikasikan kepada rakyat luas dan berani vivere pericoloso. Supaya rakyat tahan banting dan tetap memiliki daya juang dan energi kolektif dalam menghadapi tantangan dan masalah yang menghadang.

Dialektika sejarah perjuangan bangsa ini telah mencatat bahwa kepemimpinan para founding father didalam memerankan sejarahnya ibaratnya sebagai penjual jamu temulawak pahit. Tengoklah buku sejarah, betapa Bung Karno selalu menggembleng rakyat dengan jamu temulawak super pahit. Pidato-pidato Bung Karno acap kali berupa rangkaian fakta pahit yang harus diperjuangkan. Bung Karno dalam pidatonya selalu menekankan kata-kata pahit, serta mengulang-ulang terus ditengah perikehidupan rakyat.

Simak saja teks pidato Bung Karno yang berjudul TAVIP. Dalam pidato yang panjang itu Bung Karno telah mengulang-ulang kata-kata pahit sebagai penawar racun kebangsaan. Gaya komunikasi para pemimpin dan elit politik pada saat ini sebenarnya sangat terbantu oleh teknologi, khusunya teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang membuat spektrum tugas dan kompleksitas pekerjaan berada di genggaman tangan.

Sistem informasi eksekutif semakin cerdas dan efektif karena penggunaan virtualisasi dan konsolidasi data, sehingga tidak ada alasan bagi para pejabat dan anggota DPR untuk malas atau jarang membuka ruang dialog yang efektif dengan rakyat.

Komunikasi publik oleh pejabat pemerintah maupun DPR mestinya berbuah sambung rasa yang tulus. Pejabat tidak boleh gusar dan mesi berjiwa besar jika rakyat menolak atau menentang kebijakannya. Persoalan kamunikasi sambung rasa yang tulus sangat penting mengingat bangsa sedang menghadapi pandemi Covid-19 dan ancaman resesi ekonomi. (*)

Editor: Cell


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->