Connect with us

OPINI

Pasca Putusan MK dan Nasib Mantan Narapidana di Pilkada

Diterbitkan

pada

Putusan MK terkait narapidana berimbas pada pelaksanaan Pilkada Foto : tribun

Oleh: Daddy Fahmanadie SH, LLM
(Direktur Klinik Hukum DF Kalsel)

Pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat tambahan bagi calon kepala daerah, maka menjadi kewajiban yang secara normatif harus diimplementasikan oleh para pihak pelaksana Pilkada. Baik oleh KPU selaku penyelenggara, Bawaslu sebagai badan pengawas yang di dalamnya terdapat Gakkumdu saat terjadi sengketa pemilu ataupun tindak pidana pemilu.

Instansi tersebut harus memahami putusan syarat tambahan ini. Tentu tidak mudah dalam prakteknya, tetapi justru pemaham konseplah yang akan mengimbangi pelaksanaan putusan ketika terjadi persoalan di dalam prakteknya nanti.

Beberapa masalah yang menjadi urgensi di sini antara lain, pertama soal status mantan terpidana harus menunggu jeda 5 tahun setelah melewati atau menjalani masa pidana penjara berdasarkan putusan incracht. Sedangkan dalam syarat tidak pernah sebagai terpidana, maka calon bersangkutan substansinya tidak pernah melakukan tindak pidana dan sebagai terpidana. Tetapi dibatasi dengan pidana yang ancaman pidana penjaranya 5 tahun atau lebih.

Artinya, seseorang yang melakukan perbuatan pidana dengan ancaman pemidanaan tersebut kemudian atau proses tindak pidana sudah dijalani, kecuai tindak pidana alpa dan tindak pidana politik. Pada putusan MK tersebut memang tidak secara spesifik menyebutkan jenis tindak pidana. Namun keseluruhan putusan dalam 3 butir yang mengubah bunyi pasal 7 ayat 2 UU 8/2016 itu merupakan syarat kumulatif. Hal ini karena masing-masing saling terkoneksi.

Selanjutnya pada butir 2 dan 3, yaitu mantan terpidana telah melewati waktu 5 tahun setelahnya kemudian apabila melakukan, maka calon bersangkutan secara jujur harus mengumumkan latar belakang sebagai mantan terpidana. Ketentuan ini jelas mengkoreksi bahwa KPU harus merombak teknis.

Kepudian supaya syarat ini bisa terpenuhi baik di tingkat kabupaten/kota dan provinsi, sebab profiling ini menunjukkan integritas pelaksanaan Pilkada nantinya bahwa jeda 5 tahun tersebut tentu dievaluasi. Sebab tindak pidana yang sudah dilakukan dan incracht.

Ini kemudian berkorelasi dengan butir 3 tentang syarat bahwa bukan pelaku kejahatan yang berulang-ulang. Di sini harus jeli memahami korelasinya. Sebab frase kejahatan berulang-ulang ini mengacu kepada konsep residiv atau pengulangan tindak pidana. Evaluasi jeda 5 tahun menetapkan kemudian bahwa dalam kondisi tersebut apakah selanjutnya pengulangan tindak pidana atau residiv oleh seseorang atau si calon, maka penuntasan syarat ada pada butir 3 ini.

Dalam hukum pidana, ketika bicara residiv konsepnya ada yang memahami sebagai sebuah kasus berbarengan/gabungan tindak pidana. Padahal residiv berbeda dan memiliki syarat yang harus dipenuhi yaitu : pertama, pelakunya sama, kedua terulangnya tindak pidana yang untuk tindak pidana terdahulu telah dijatuhi pidana dengan keputusan incracht, ketiga pengulangan terjadi dalam waktu tertentu.

Secara konsep residiv jadi titik berat perbedaan pengulangan dan perbarengan pada sudah ada atau tidaknya salah satu tindak pidana itu disidangkan/dijatuhi pidana oleh hakim. Jika ada, maka ini jelas sebagai pengulangan tindak pidana. Jika belum ada, maka hal tersebut merupakan bangunan konstruksi berbarengan. Tapi selain itu untuk residiv tidak ada persoalan apakah mengenai tindakan tunggal ataukah menyebabkan dilanggarnya dua ketentuan pidana.

Berdasarkan penjelasan ini, tentu kasuistis memahaminya pasti ada dalam penerapan atau praktek. Tapi dalam sudut jenis tindak pidana, konsep pengulangan terbagi dua yaitu pengulangan umum dan khusus. Pengulangan umum tidak menjadi soal jenis/macam tindak pidana yang terdahulu yang sudah divonis.

Sementara pengulangan khusus yaitu apabila tindak pidana yang diulangi itu sama atau sejenis.
Bagaimana kemudian soal jangka waktu pengulangan ada dlm pasal 486 , 487 dan 488 kuhp dalam hal tersebut diatur cara menghitungnya. Berdasarkan ini memang perlu pemahaman mendasar terkait tiga elemen syarat tersebut sehingga refleksi putusan MK dapat menjadi acuan atau sandaran ketika terjadi dinamika dalam praktek nantinya.(*)


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->