Connect with us

HEADLINE

Pengesahan RUU Cipta Kerja sebagai ‘Kado Pahit’ bagi Para Buruh!

Diterbitkan

pada

Aksi buruh menolak RUU Ciptaker Foto: suara

KANALKALIMANTAN.COM, BANJARBARU – Di tengah protes para buruh, pemerintah dan dewan tetap ‘tancap gas’ memberlakukan RUU Omnibus Law Cipta Kerja.

Kini, tinggal selangkah lagi RUU Ciptaker untuk menjadi UU. Pemerintah bersama DPR telah menyetujui RUU tersebut untuk dibawa ke Rapat Paripurna pada 8 Oktober 2020 mendatang.

Pada Sabtu (3/4/2020) malam, deal dilakukan saat Rapat Kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR bersama pemerintah dan DPD.

Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagio, mengungkapkan yang menjadi polemik di RUU Omnibus Law Cipta Kerja adalah kontrak kerja yang dapat diberlakukan seumur hidup. Menurutnya, persoalan status pekerja tersebut merupakan salah satu pemantik dirancangnya Omnibus Law.

 

Sebab, kata dia, selama ini dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perusahaan memiliki tanggungan memberikan pesangon ke pekerja yang dipecat atau PHK.

“Muncullah Omnibus Law, agar investor masuk dan tidak terganggu dengan buruh,” ujar Agus, dilansir Kompas.com, Minggu (4/10/2020).

“Jadi buatlah itu pasalnya, bahwa tidak ada masa berlakunya kontrak. Itu ditentang oleh buruh, artinya buruh tidak memiliki jaminan kehilangan pekerjaan,” imbuhnya.

Meskipun, Agus menilai RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini memiliki sisi positif dan negatif. Positifnya bagi perusahaan, bisa mendapatkan investor dan dapat memperkerjakan tenaga asing dengan lebih mudah.

“Daripada ribut-ribut (dengan pekerja), mending perusahaan itu mengambil tenaga kerja asing. Kalau selesai suatu waktu, pulang, ganti lagi,” ucapnya.

Sedangkan, sisi negatifnya ditanggung para pekerja, karena tidak memiliki jaminan jika kehilangan pekerjaan.

Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar menambahkan, jika RUU Omnibus Law Cipta Kerja disahkan menjadi UU jelas sangat merugikan pekerja. Ia mengungkapkan perlindungan terhadap pekerja akan semakin menurun.

Timboel khawatir perusahaan akan membuka seluas-luasnya sistem kontrak dan outsourcing. Opsi ini, menurutnya menyebabkan kepastian bagi para pekerja akan hilang.

“Hak konstitusional untuk mendapatkan pekerjaan yang layak akan didegradasi oleh UU Cipta Kerja ini,” ujarnya.

Selain itu, Timboel menilai, ada sejumlah hal yang memberatkan untuk pekerja. Yakni, aturan terkait perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PWKT), upah minimum, proses dan kompensasi PHK, dan Jaminan Kehilangan Pekrjaan (JKP) diserahkan ketentuan detailnya ke Peraturan Pemerintah (PP), bukan UU.

Menurut dia, persoalan terkait dengan hak para pekerja itu sudah seharusnya DPR yang merupakan wakil rakyat ikut memastikannya, bukan hanya menyerahkan ke pemerintah.

“Saya menilai seharusnya norma-norma yang terkait dengan hak konstitusional harus diatur di UU, bukan di PP,” ujar Timboel.

Pun Kahar S. Cahyono dari KSPI mengatakan RUU Ciptaker penuh dengan masalah karena sejak awal pembahasan tidak pernah melibatkan serikat buruh, melainkan hanya pihak pengusaha dan pemerintah.

Kahar juga menegaskan bahwa serikat pekerja tidak pernah dilibatkan sedikitpun dalam proses pembahasan yang menciptakan sebuah kesepakatan. Menurut Kahar jika RUU ini disahkan maka akan berbahaya bagi kedaulatan negara.

“Kenapa? Karena investasi harus berbasis pada proteksi perlindungan bagi pekerja Indonesia. Buat tapa investasi kalau yang bekerja TKA, buruhnya diupah murah, mudah dipecat, PHK masal, sulit mendapatkan kesejahteraan?

Nanti akan berimplikasi pada sulit memiliki daya beli dan mendongkrak perekonomian, membahayakan kedaulatan negara,” katanya.

Poin Penolakan Buruh

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyatakan pihaknya menolak sebanyak tujuh poin kesepakatan antara Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dan pemerintah untuk dimuat di dalam Rancangan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja (RUU Ciptaker). Buruh pun bersiap menggelar aksi mogok nasional.

“Terhadap tujuh hal yang lainnya, buruh Indonesia menolak keras dan tidak menyetujui hasil kesepakatan tersebut,” kata Said, Minggu (4/10). (Lihat Tabel, 7 Penolakan Buruh terhadap RUU Ciptaker, Red).
—-
7 Penolakan Buruh terhadap RUU Ciptaker

1) Terkait penghapusan upah minimum kota/kabupaten (UMK) bersyarat dan upah minimum sektoral kota/kabupaten (UMSK).

2) Pengurangan nilai pesangon dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan, di mana 19 bulan dibayar pengusaha dan enam bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan.

3) Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).

4) Karyawan kontrak dan outsourcing seumur hidup.

5) Jam kerja yang eksploitatif.

6) Penghilangan hak cuti dan hak upah atas cuti.

7) Hilangnya jaminan pensiun dan kesehatan karena adanya kontrak seumur hidup.

Sementara itu, pada kesempatan yang sama Partai Demokrat menyatakan penolakannya atas RUU Ciptaker.

Perwakilan fraksi Partai Demokrat Hinca Pandjaitan menyampaikan beberapa alasan, pihaknya menolak RUU Ciptaker ini.

“Fraksi Partai Demokrat menyampaikan lima hal yang perlu mendapatkan perhatian,” kata Hinca, Minggu (4/10).

RUU Ciptaker dinilai tidak memiliki nilai urgensi dan kegentingan memaksa di tengah pandemi ini. Selain itu, RUU Ciptaker ini membahas secara luas beberapa perubahan UU sekaligus (omnibus law). Di satu sisi bisa mendorong investasi dan menggerakkan perekonomian nasional, namun

hak dan kepentingan kaum pekerja tidak boleh diabaikan apalagi dipinggirkan.
Keempat, Demokrat memandang RUU Ciptaker telah mencerminkan bergesernya semangat Pancasila utamanya sila keadilan sosial (social justice) ke arah ekonomi yang terlalu kapitalistik dan terlalu neo-liberalistik.

“Terakhir, selain cacat substansi, RUU Ciptaker ini juga cacat prosedur. Fraksi Partai Demokrat menilai, proses pembahasan hal-hal krusial dalam RUU Ciptaker ini kurang transparan dan akuntabel,” tegas Hinca.

Selain lima hal tersebut, yang perlu menjadi pertimbangan. Partai Demokrat juga menyampaikan tiga catatan kritis terkait isi dalam RUU ini. Pertama, ada sejumlah catatan terkait ketidakadilan di sektor ketenagakerjaan, antara lain mengenai aturan prinsip ‘no work no pay’ oleh pengusaha karena upah dibayar berdasarkan satuan waktu kerja per jam.

Kedua, terkait lingkungan hidup dan sektor pertanahan. RUU Ciptaker melegalkan perampasan lahan sebanyak dan semudah mungkin untuk proyek prioritas pemerintah dan proyek strategis nasional, yang pelaksanaannya dapat diserahkan kepada swasta.

Ketiga, terkait sentralisasi peraturan dari daerah ke pusat. RUU Ciptaker membahayakan kehidupan demokrasi di Indonesia. “Berdasarkan argumentasi dan catatan penting tersebut, maka fraksi Partai Demokrat menyatakan menolak RUU Ciptaker,”imbuhnya.

Untuk itu Partai Demokrat menyarankan agar dilakukan pembahasan yang lebih utuh dan melibatkan berbagai stakeholders yang berkepentingan. Ini penting, agar produk hukum yang dihasilkan oleh RUU Ciptaker ini tidak berat sebelah, berkeadilan sosial, serta mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja yang sebenarnya.(kanalkalimantan.com/tri)

 

Reporter: Tri
Editor: Cell


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->