Connect with us

Politik

Perlawanan Satire Politik Ala ‘Capres’ Nurhadi

Diterbitkan

pada

Pasangan Capres Nurhadi-Aldo Foto: net

JAKARTA, Pasangan capres-cawapres fiktif Nurhadi-Aldo akrab juga disebut Dildo, ibarat oase ditengah gersangnya kampanye Capres 2019. Ia hadir menyegarkan perbincangan lewat quote yang lucu sekaligus sarat kritik sosial, daripada saling hujat yang dihadirkan pada pemilu kali ini. Jadi, apakah capres Nurhati-Aldo adalah politik Indonesia yang sebenarnya?

Dildo hanyalah rekaan warganet di media sosial. Namun mereka hadir untuk mencairkan kejengahan masyarakat atas eksploitasi isu politik Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi.

Meski tidak nyata, pasangan Dildo ramai diperbincangkan di medsos saat Pilpres 2019 memasuki musim kampanye ini. Layaknya capres-cawapres yang akan berlaga di Pemilu, pasangan Dildo pun turut melengkapi ‘konstestasi’ mereka dengan poster, akun media sosial, hingga koalisi parpol pendukung.

Dengan mengusung slogan ‘MyQueenYaQueen’ atau yang dibaca ‘Makin Yakin’, mereka diusung oleh ‘Koalisi Indonesia Tronjal Tronjol Maha Asyik’. Untuk poster, foto Nurhadi dan Aldo tampil dengan pakaian kokok merah putih serta mengenakan peci hitam. Di dalam poster terdapat juga ada nama mereka dan nama koalisi pendukung.

Dilansir cnnindonesia.com, antusiasime warganet terhadap pasangan ini juga terlihat ketika akun instagram mereka diikuti lebih dari 238.000 pengikut dan 50.000 pengikut di Twitter. Angka itu bahkan telah mengalahkan pengikut beberapa parpol nasional Indonesia di media sosial Instagram.

Uniknya lagi, foto dan berbagai macam meme Nurhadi-Aldo juga telah dibagikan berulang kali di media sosial. Sebagian besar postingannya di media sosial mendapat reaksi meriah dan dibanjiri ratusan komentar dari warganet.

Salah satu meme yang tersebar adalah poster mereka berdua disertai kutipan dari Nurhadi, ‘Kalau orang lain bisa. Mengapa harus kita?’.

Fenomena ‘meme’ Nurhadi-Aldo di media sosial ibarat bentuk satire politik yang mewarnai Pilpres 2019. Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Wasisto Raharjo Jati menilai satire politik itu telah sengaja dimunculkan sebagai bentuk sindiran dari masyarakat karena mulai bosan dengan gelaran Pilpres kali ini

“Nurhadi-Aldo hadir karena masyarakat bosan dan jengah dari tiadanya calon alternatif selain Prabowo dan Jokowi. Sehingga memicu pertarungan Cebong dan Kampret,” kata Wasis saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (7/1).

Wasis menyebut satire politik biasa digunakan untuk mengkap sebuah ironi atau tragedi nyata yang dibungkus dalam sebuah komedi sehingga sifatnya parodi.

Kehadiran ‘Dildo’ sebagai satire politik tak ubahnya sebagai bentuk upaya masyarakat melawan label ‘cebong-kampret’ yang marak di Pilpres kali ini. Label ‘cebong’ selama ini kerap ditujukan bagi para pendukung Jokowi-Ma’ruf Amin. Sedangkan label ‘kampret’ diidentikkan untuk pendukung Prabowo-Sandiaga.

Masyarakat kini membentuk perlawanan kolektif untuk keluar dari dikotomi itu dengan menghadirkan humor politik ala Nurhadi-Aldo sebagai paslon alternatif fiktif. “Publik tidak ingin terlabelisasi sebagai cebong dan kampret dalam ruang publik, sehingga munculnya Dildo ini sebagai bentuk hiburan politik mereka,” kata Alumnus Universitas Gadjah Mada itu.

Wasis menyebut fenomena satire politik seperti paslon Nurhadi-Aldo bukan terjadi kali ini saja. Di dunia pertelevisian, Warkop DKI dan Sentilan Sentilun menjadi contoh kelompok lawak yang memiliki humor satire politik. “Hanya saja dulu kan aktornya itu didominasi seniman dan kritik humornya tidak langsung. Sekarang kan anak-anak milenial yang anonim namun peka soal politik,” kata dia.

Di sisi lain, Wasis turut menilai kehadiran ‘Dildo’ di media sosial sebagai upaya untuk menurunkan tensi politik yang panas di level elite dan masyarakat di Pilpres 2019 kali ini. Ia mengatakan ‘Dildo’ hadir sebagai oase di tengah masyarakat yang mulai terbelah akibat isu identitas bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan yang mulai marak sejak Pilpres 2014 lalu.

“Itu bagian dari upaya menurunkan tensi politik yang panas di level elite dan masyarakat sejak [Pemilu] 2014 lalu. Kita terlalu serius soal urusan politik sampai akar rumput namun alpa sisi kemanusiaannya,” kata dia.

Aspirasi yang Tak Terakomodasi

Antropolog dari Universitas Indonesia, Ruddy Agusyanto menilai kehadiran capres fiktif Nurhadi-Aldo merupakan simbol ketidakpuasan masyarakat terhadap kandidat yang sedang bertarung di Pilpres 2019. “Ini sebagai tanda tak bisa sepenuhnya mengakomodasi calon pemimpin yang diinginkan masyarakat,” kata Ruddy.

Pria yang akrab disapa Ruddy Kipam itu menilai kegagalan mengakomidasi tersebut diakibatkan oleh pemerintah dan parpol yang gagal menciptakan ruang bagi masyarakat untuk menyeleksi kandidat capres-cawapres di Pilpres 2019.

Ia mengatakan partisipasi masyarakat sangat tertutup saat proses kandidasi pasangan calon yang akan berlaga di Pilpres. “Karena masyarakat sebagian besar bukan anggota parpol. Hanya berdasarkan pandangan mereka [Parpol] saja, seolah-olah masyarakat menginginkan calon ini. Bagaimana idealisme seorang pemimpin kan masyarakat berbeda-beda,” kata dia.

Fenomena serupa juga ditunjukan oleh para calon anggota legislatif yang banyak tak dikenal masyarakat. Tak ayal, kata Ruddy, masyarakat menjadi antipati dengan ditandai angka golput di Pemilu terus bermunculan dan meningkat dari waktu ke waktu. “Para caleg kalau ditanya ke masyarakat banyak tidak kenal, jadi inilah sinyal para pemilih untuk golput itu jadi muncul terus. Kita tak terakomodasi,” kata dia.

Di sisi lain, Budayawan Arswendo Atmowiloto menilai ramainya pembahasan paslon Nurhadi-Aldo di media sosial tak lepas dari kondisi perpolitikan Indonesia yang menakutkan belakangan ini. Ia menyatakan para kandidat di Pilpres 2019 kali ini lebih banyak melontarkan pernyataan yang bernada menakut-nakuti ketimbang membuat rakyat ceria.

“Politik sekarang memang tak lucu, seram, dikit-dikit dilaporkan [ke Polisi], ada Indonesia punah dan lain-lain,” kata Arswendo.

Arswendo turut menilai kehadiran Nurhadi-Aldo di media sosial seharusnya menjadi warning bagi para timses para kandidat. Ia menyatakan seharusnya para timses bisa membuat masyarakat lebih cerdas dan bukan sebaliknya untuk membodohi demi kepentingan kontestasi. “Jadi ini juga sebagai warning kepada timses,” kata dia. (rzr/gil/cnni)


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->