Connect with us

VOA Indonesia

Pro Kontra Pembelajaran Tatap Muka di Sekolah, Terpapar COVID vs Generasi Asosial

Diterbitkan

pada

Siswa yang mengenakan masker menghadiri kelas pada hari pertama pembukaan kembali sekolah di sebuah sekolah dasar di Jakarta, Senin, 30 Agustus 2021. (Foto: AP)

KANALKALIMANTAN.COM – Sekitar 90an siswa SMP di Purbalingga dan 30an siswa MTs di Jepara, Jawa Tengah, dinyatakan positif COVID-19 saat penerapan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di sekolah yang baru berlangsung dua minggu seiring penurunan level PPKM. Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, meminta daerah dan sekolah jujur dalam penerapan PTM bagi siswa.

“Klaster PTM di Purbalingga sudah kami respons. Bupati sudah saya telepon, cek lokasi, dan saya minta sekolahnya ditutup sementara. Sama juga yang terjadi di Jepara. Saya minta langsung tutup. Makanya saya minta yang persiapan PTM itu harus disiapkan, kalau perlu testingnya secara random. Daerah atau sekolah yang belum siap PTM jangan mengaku siap”, ungkap Ganjar di Solo, Selasa (21/9).

Lebih lanjut Ganjar mengungkapkan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah sudah melakukan pencegahan dengan memperluas uji medis secara random.

Baca juga: H-2 Jelang Piala Sudirman 2021, Kondisi Greysia / Apriyani Belum Prima

 

 

Ganjar Pranowo sidak ke SMPN 33 Semarang mendapati siswa tidak menerapkan Prokes dan meminta guru melakukan perbaikan. (Foto: Courtesy/Humas Jateng)

 

Di Tengah Euforia PTM Sekolah: Kejujuran dan Kesiapan

Hampir dua tahun para siswa setingkat PAUD, TK, SD, SMP, SMA/SMK, hingga mahasiswa perguruan tinggi mengikuti pembelajaran online karena pandemi. Rendahnya angka kasus COVID-19 di berbagai daerah dan penurunan tingkat level PPKM Jawa Bali membuat daerah melonggarkan aktifitas masyarakat, termasuk PTM di sekolah.

“Di Jawa Tengah nggak ada daerah yang sekarang level 4 PPKM. Kasus Brebes itu salah catat data COVID. Data lama ikut dimasukkan,” jelas Ganjar.

Vaksinasi bagi pelajar usia 12-18 tahun juga memotivasi daerah dan sekolah segera menggelar PTM.

Kekhawatiran PTM di sekolah menjadi kluster penyebaran COVID diungkapkan Guru Besar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan FKIP Universitas Sebelas Maret UNS Solo, Profesor Joko Nurkamto. Saat dihubungi VOA, Jumat (24/9), menjelaskan ada sejumlah sorotan penting dalam menggelar PTM sekolah di masa pandemi.

“Sejak awal klaster PTM sudah menjadi kekhawatiran kami. Guru memang sudah divaksinasi semua, lantas bagaimana dengan siswanya, sekarang mungkin baru 50 persen divaksin. Itu vaksinasi yang SMP maupun SMA. Bagaimana dengan siswa SD, usia 12 tahun ke bawah belum ada vaksin? Penegakam prokes di sekolah juga harus ketat”, ungkap Joko.

Joko menambahkan kejujuran sekolah, wali murid dan murid menjadi penentu dalam memgantisipasi klaster COVID di sekolah.

“Kalau memang ada guru, murid, atau wali murid yang sakit ya jangan diperbolehkan masuk ke sekolah. Nanti bisa menular ke yang lain. Kalau terjadi klaster COVID di sekolah ya dihentikan sementara aktivitas PTM dan bisa dilanjutkan lagi saat sudah selesai masa isolasi atau penyembuhan”, jelas Joko.

Baca juga: Peringati WCS dan Harjad Banjarmasin, Pegawai Pemko Bersihkan Sungai

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim pada Senin (13/9) sempat melihat langsung aktifitas sekolah dan kampus di Solo yang menggelar PTM. Nadiem menilai PTM sekolah di daerah level 1 hingga 3 PPKM bisa dibuka dengan syarat prokes ketat.

“Kita sangat mendukung pemda-pemda yang kini daerahnya di level 1 – 3 mendorong Sekolah Tatap Muka terbatas dan vaksinasi pelajar dengan penerapan protokol kesehatan ketat,” jelas Nadiem.

 

Dampak Kejiwaan Sekolah Online

Lebih jauh Nadiem Makariem mengingatkan dampak sekolah online terhadap siswa, keluarga, dan nasib generasi mendatang.

“Dampaknya kalau kita tidak bergerak cepat sekarang, kehilangan lost of learning yang bisa permanen. Kesehatan mental dan psikis permanen di jiwa anak-anak. Merasa kesepian, mengalami konflik di dalam keluarga, menjadi a sosial, dan dampak permanen lainnya. Apalagi untuk anak yang sedang berkembang. Jadi PTM sekolah itu suatu risiko yang harus ditanggapi. Nggak banyak yang melihat resiko generasi mendatang seperti apa,” pungkas Nadiem.

Profesor Joko Nurkamto menegaskan pembelajaran metode tatap muka (luring) masih tetap yang terbaik dibanding daring atau online.

“Interaksi guru dengan murid secara langsung di sekolah atau pembelajaran luring masih menjadi metode terbaik. Kalau sekolah online menjadikan murid asosial ya tidak semuanya benar, kan masih ada sosialisasi atau interaksi di sekitar rumah. Teman sekampung, teman dekat rumah”, kata Joko.

Baca juga: Diserempet Aerox, Pedagang Buah Pingsan di Depan Taman Van Der Pijl

Lebih lanjut Joko mengingatkan sekolah online masih banyak kekurangan. Peralatan, Koneksi internet, Guru yang mumpuni dalam teknologi, adaptasi sekolah menjadi serangkaian daftar menjalankan pembelajaran online.

“Pernasalahannya pada kualitas materi pembelajaran online. Guru membuat rekaman video di internet kemudian murid mengakses dan mengerjakan tugas, guru memberi nilai, hanya itu saja. Pendampingan personal pemahaman pada siswa tidak ada. Beda jika pembelajaran di kelas,” ungkap Joko. (VOA Indonesia/ys/em)


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->