Connect with us

Pariwisata

Warga Tiwingan Tanyakan Status Objek Wisata Pulau Bekantan di Riam Kanan

Diterbitkan

pada

Pulau Bekantan di waduk Riam Kanan, sebuah destinasi anyar berupa hutan konservasi yang dibangun Dishut Kalsel. Foto : ist

BANJARMASIN, Rusdiansyah bersama 30 warga desa Tiwingan, Kecamatan Aranio, Kabupaten Banjar mendatangi DPRD Kalsel meminta solusi kepada Dinas Kehutanan Kalsel terkait penanganan Pulau Bekantan yang akan dijadikan objek wisata.

Kepala Desa Tiwingan ini meminta agar program pemerintah dapat memberikan solusi atas beberapa tanaman masyarakat yang masuk dalam kawasan pariwisata.

“Intinya kami ke sini meminta tali asih untuk tanaman yang ada di wilayah itu, karena akan dijadikan objek wisata oleh Dinas Kehutanan Provinsi Kalsel,” ungkap Kades Rusdiansyah bersama warganya.

Dijelaskan Kades Tiwingan, tanaman warga yang ada di wilayah tersebut seperti pohon karet, pohon durian, dan masih banyak pohon buah lainnya, sudah puluhan tahun dimiliki oleh masyarakat Tiwingan Lama dan Tiwingan Baru.

Bahkan beberapa masyarakat ada yang bertahan hidup dari hasil tanaman tersebut. Wilayah yang akan dijadikan objek wisata tersebut akan dijadikan sebagai wadah penangkaran hewan endemik Kalimantan yaitu Bekantan.

Rusdi mengatakan, masyarakat sempat dijanjikan oleh oknum bahwa mereka akan diajak kerja sama oleh Dishut Kalsel dan mendapatkan ganti rugi atas tanaman yang telah dibabat. Di wilayah tersebut nantinya akan dibuat menjadi seperti wadah persitirahatan.

Meski baru mendapat arahan secara lisan, Rusdi sebenarnya berharap agar pihaknya bisa rembuk dan mendapat kesepakatan dengan para warga desa terlebih dahulu. Apalagi mengingat adanya tanaman warga di kawasan tersebut dan disamping itu pihaknya sangat ingin agar sumber daya warga sekitar dilibatkan dalam pengelolaan objek wisata tersebut. “Objek wisata sudah dibuka, meski belum ada penarikan retribusi,” terangnya.

Sekretaris Komisi II DPRD Provinsi Kalsel, Imam Suprastowo

Sebelum diberi nama Pulau Bekantan oleh Dishut Kalsel, pulau dengan lahan 40 hektare itu bernama Gunung Sapi dan tidak ada tanaman apa-apa selain semak belukar di wilayah tersebut. Sampai akhirnya warga sekitar mulai bercocok tanam di wilayah tersebut dan meraup untung dari hasil yang ditanam.

Sehingga jika objek wisata kelak semakin ramai, Rusdi takut para warga sekitar tidak bisa lagi mengambil hasil tanaman-tanaman di wilayah tersebut.

Sekretaris Komisi II DPRD Provinsi Kalsel, Imam Suprastowo mengatakan, dampak dari pembangunan objek wisata ini selain wilayah tanaman warga masuk dalam kawasan wisata sehingga masyarakat akan kesulitan dalam bercocok tanam, ada juga yang berdampak pada penebangan tanaman. Namun di lain hal, ia juga menemukan sedikit kejanggalan dalam proses pembuatan objek wisata ini.

“Memang banyak sekali kejanggalan. Itu katanya hutan konservasi. Saya katakan ada keanehan karena di situ ada dua pemerintahan desa yang diakui oleh pemerintah (Tiwingan Lama dan Tiwingan Baru), sehingga rancu sekali. Ini yang nanti akan kita diskusikan dengan dinas terkait untuk mencari solusinya,” ungkap Imam.

Sebab, jika wilayah itu berada di hutan konservasi, statusnya tidak seperti di hutan lindung di mana boleh menanam, tapi tidak boleh ditebang. Sedangkan untuk hutan konservasi, tidak boleh ada apa-apa di kawasan tersebut, termasuk destinasi wisata.

Imam sendiri berharap agar nanti dapat ditemukan solusi seperti halnya hutan Mangunan di Yogyakarta. Hutan tersebut berhasil dikelola masyarakat dan pemda hanya menerima 25 persen dari hasil pengelolaan sedangkan 75 persen untuk masyarakat.

“Cuma karena posisi hutan konservasi ini masalahnya. Kalau hutan produksi atau hutan lindung masih bisa kita otak-atik. Sebenarnya kita sebut konservasi pun masih sedikit membingungkan, karena di sana dua pemeintahan desa,” pungkasnya.

Pantja Satata, Kabid Perlindungan Konservasi SDA Dishut Kalsel.
Foto : mario

Ditemui usai melakukan pertemuan dengan para anggota dewan, Pantja Satata, Kabid Perlindungan Konservasi Sumber Daya Alam Dinas Kehutanan Provinsi Kalsel mengatakan, memang ada dua buah pohon karet yang ditebang dan pihaknya sudah mengganti rugi secara pribadi. Satu pohon karet tersebut dihargai 500 ribu rupiah. Selain itu pihak masyarakat di kawasan tersebut juga sudah mereka libatkan dalam pengelolaan.

Pantja menjelaskan bahwa hutan konservasi, boleh dijadikan kawasan wisata dan tidak apa-apa masuk dalam kawasan desa, selama tidak merusak lingkungan. Contoh hutan konservasi yang menjadi kawasan objek wisata adalah Tahura Sultan Adam Mandiangin. (mario)


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->