Connect with us

HEADLINE

Tunjuk Prabowo di Proyek Food Estate Kalteng, ‘Sampul Baru’ Ketahanan Pangan di Era Jokowi

Diterbitkan

pada

Jokowi saat berbincang bersama Menhan Probowo di lokasi food estate di Kapuas Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden/ laily rachev

KANALKALIMANTAN.COM, KUALA KAPUAS – Presiden Joko Widodo menunjuk Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto sebagai leading sector pembangunan food estate di Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah (Kalteng), seluas 178 ribu hektare. Namun, proyek tersebut diragukan keberhasilannya oleh sejumlah pihak karena sebelumnya sempat gagal dicanangkan di era Soeharto. Mampukah Jokowi membuktikan?

Proyek food estate yang mengambil sejumlah lokasi di berbagai provinsi ini, termasuk di Kalteng, sempat mengundang pertanyaan sejumlah pihak. Hal ini karena sebagai leading sectornya adalah Kemenhan, bukan Kementerian Pertanian (Kementan).

Menjawab hal tersebut, Jokowi menjelaskan alasan menunjuk Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dalam proyek Food Estate di Kalimantan Tengah. Salah satu alasan, proyek tersebut adalah peringatan Organisasi Pangan Dunia (FAO) yang memprediksi bakal ada krisis pangan dunia.

“Sudah disampaikan Food Estate itu berangkat dari peringatan FAO akan ada krisis pangan dunia sehingga perlu antisipasi cepat dengan membuat cadangan pangan strategis,” ujar Jokowi dalam pertemuan dengan media, Senin (13/7).

(Baca: Sawah dan Citra Politik Para Presiden RI, Dari Soekarno hingga Jokowi)

Ia mengatakan, bidang pertahanan tak hanya mengurusi alutsista melainkan juga ketahanan di bidang pangan. Hal itu juga telah disampaikan oleh Prabowo lengkap dengan besaran anggaran untuk membangun Food Estate di Kapuas dan Pulang Pisau, Kalteng. “Dan yang namanya pertahanan itu bukan hanya alutsista tapi juga ketahanan di bidang pangan,” tegasnya.

Dengan keterlibatan Prabowo, Jokowi meyakini persoalan pangan di Indonesia akan lebih mudah diatasi. “Jadi Pak Menhan menjadi leading sector karena memang kita ingin membangun cadangan strategis pangan, sehingga kalau nanti kekurangan beras ya tanam padi. Kurang jagung ya tanam jagung, bisa di situ,” jelasnya.

Meski dikelola Kemenhan, Jokowi menuturkan menteri pertanian tetap akan ikut membantu. “Tetap mentan kan juga back di situ. Nanti urusan pertanian yang lain (misalnya) pangan ya tetap mentan,” imbuhnya.

Di sisi lain, Jokowi juga menekankan bahwa lahan yang digunakan untuk pembangunan Food Estate bukan lahan gambut melainkan jenis tanah aluvial yang berasal dari endapan lumpur dan pasir halus yang mengalami erosi.

Infografis: kanalkalimantan/yuda

“Itu bukan gambut lho ya. Kemarin kan agak ramai masalah itu. Nggak, itu semua sudah kita cek, aluvial semua. Itu di luar gambut dan saya kira nggak akan mengganggu lingkungan yang ada,” ucap Jokowi.

Jokowi menyatakan lumbung padi yang akan dibangun pada tahap awal seluas 30 ribu Ha. Lalu, dalam waktu satu setengah tahun atau maksimal dua tahun akan ditambah lagi lumbung padi seluas 148 ribu Ha.

Ia berharap cadangan strategis pangan ini bisa dikelola dengan baik. Dengan demikian, jika masyarakat kekurangan bahan pangan, maka bisa disediakan dari Kalimantan Tengah. “Semuanya akan dikelola dengan manajemen yang ada dan kalau sisa itulah yang akan diekspor ke negara lain,” jelas Jokowi.

Pernah Gagal di Era Soeharto

Namun demikian, Masyarakat Sipil, yang merupakan koalisi sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), menilai dalih pemenuhan pangan lewat program food estate di Kalimantan Tengah hanya ‘janji kosong’ yang berpotensi besar merusak lahan gambut dan memicu kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

“Di tengah pandemi Covid-19 pemerintah kemudian menggunakan isu krisis pangan sebagai satu alasan untuk mempercepat proyek pencetakan sawah di Kalimantan Tengah,” ujar koalisi dalam siaran pers yang dikutip dari situs ELSAM, sebagaimana dilansir CNNIndonesia.com.

Menurut mereka, proyek food estate yang masuk Proyek Strategis Nasional (PSN) ini bakal digelar di lahan bekas Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektare era Orde Baru. Program ini, katanya, minim transparansi dan partisipasi masyarakat. “Kami meminta pemerintah untuk tidak lagi mengulangi kesalahan masa lalu dan kembali membangun malapetaka yang baru. Pemerintah harus berhenti menggunakan pandemi sebagai alasan untuk mengeksploitasi gambut,” kata Masyarakat Sipil.

Diketahui, Presiden kedua RI Soeharto meluncurkan proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Satu Juta Hektar di Kalimantan Tengah. Tujuannya, menyediakan lahan pertanian baru dengan mengubah satu juta hektare lahan gambut dan rawa untuk penanaman padi.

Namun, Proyek itu gagal total. Transmigran di kawasan gambut tersebut meninggalkan lokasi. Sementara, penduduk setempat mengalami kerugian akibat kerusakan sumber daya alam akibat proyek tersebut.

Di era Soeharto, ketahanan pangan hanya dilihat dari kemampuan swasembada beras saja. Ketahanan pangan kala itu diartikan secara sempit. Padahal ketahanan pangan merupakan salah satu bentuk kedaulatan negara. Tujuan ketahanan pangan itu sendiri adalah untuk menyediakan kebutuhan pangan yang tak hanya mencukupi (availability), terjangkau (affordability) tetapi juga aman dan bergizi (safety).

Jika mengacu pada data global food security index (GFSCI), ketahanan pangan Indonesia berada di peringkat 62. Indonesia masih kalah dengan Singapura yang berada di peringkat 1, Malaysia di peringkat 28, Thailand di peringkat 52 dan Vietnam di peringkat 54.

Skor total ketahanan pangan Tanah Air berada di angka 62,6. Jika dilihat dari aspek keterjangkauan Indonesia mendapatkan skor 70,2. Indonesia masih lemah dalam hal akses pembiayaan untuk petani yang berada di bawah rata-rata indeks global tahun lalu.

Jika dilihat dari aspek ketersediaan, skor Indonesia berada di angka 61,3. Aspek seperti infrastruktur pertanian dan infrastruktur irigasi di Indonesia masih dinilai lemah sehingga sering terjadi masalah ketersediaan dan harga pangan. (Kanalkalimantan.com/cel/berbagai sumber)

 


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->